7 years of love# potongan 2
kalo elum bia di : http://aisyahwulansari.blogspot.com/2012/03/7-years-of-love.html
dan ini selanjutnya,.....^-^
26 Desember 2011
“Nak, Pramana….” Suara tante
VIvi lembut menyapaku. Membangunkanku akan lelap.
“Udah malem, Sayang. Kamu
pulang gih. Besok kamu harus kuliah kan? Bidang kedokteran bukan hal mudah,
Sayang”
“Iya sih, Tan. Tapi… Pritha
kan….”
“Kan ada tante disini. Besok
masih ada hari, kamu kan bisa ke sini lagi?”
“Ya udah tante, Pramana
pulang dulu. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati
ya, Sayang”
Suasana kota Bandung makin
ramai. Kerlap-kerlip lampu kota beradu indah di pinggiran jalan protocol utama.
Suasana berbeda sungguh terasa saat aku melangkah keluar dari gedung rumah
sakit yang serba putih. Ku teruskan langkahku ke gerbang utama rumah sakit. Ku
hentikan sebuah taksi. Ku komando sang sopir untuk bergegas menuju ke rumah karena
hari makin larut, aku tak ingin membuat mama khawatir akan aku. Dalam taksi teralun
lagu “Seven Years Of Love” . Sebuah
lagu yang kembali membangkitkan ingatanku akan kenangan bersama Pritha dulu.
Saat dimana aku bisa melihat senyumnya yang menenangkan. Teringat olehku, bahwa
tepat 3 hari lagi pada setahun lalu adalah hari dimana aku dan Pritha sempat
kembali mengukir janji. Pritha, aku yakin kamu tak akan pernah melupakan janji
kita itu.
*****
29
Desember 2010
“Kak, ini lagu apa?” tanya
Pritha sesampainya kami dalam mobil.
“Pak Maman jalan yah. Udah
sore nih, kasian Pritha”
“Iya, Den” jawab Pak
Maman,sopir pribadi keluargaku, patuh.
“Ih, Pramana. Jawab dong. Ini
lagu apa?”
“Iya. Iya. Nyantai aja kali”
“Jadi?”
“. . .” :”
“Dasar!! Mending tanya Pak
Maman aja. Huh!! “ rengeknya kesal. “Pak, ini lagu judulnya apa’an yah?”
“Maaf, Non. Pak Maman nggak
tahu lagu bule kaya beginian.” Jawab Pak Maman terlalu jujur.
“Emang kenapa sih, Tha?”
“Aku suka ajah. Nggak boleh?”
“Suka lagunya atau
penyanyinya?”
“Yee,… “
“Ini lagu judulnya, Seven
Years of Love” jelasku
“Kok tahu?”
“Ya tahu lah. Ini lagu
kesukaannya Findha. Dulu dia suka banget ama penyayinya. Jadi dia ngoleksi
album plus posternya. Dan ini salah satu lagunya”.
“Oh. Maaf kalau aku jadi harus
ngungkit-ngungkit masalah Findha. Aku..—“
“Nggak apa. Nyantai aja. :]”
potongku kemudian.
“Tahun depan, aku harap kita
bisa main-main lagi kaya tadi. Tahun ketujuh persahabatan kita. Dan pastinya
terus berlanjut sampe tahun-tahun persahabatan kita berikutnya.”
“Kamu kenapa sih? Pastinya
lah kita bisa terus temenan. Kita masih punya banyak waktu, Tha. Kamu kenapa
sih?”
Ia hanya diam. Keheningannya
semakin membuatku penasaran akan apa yang terjadi pada diri Pritha. Sebenarnya
apa yang disembunyikan olehnya? Oh, Pritha. . . .
“Janji?” ucap Pritha sambil
mengangkat kelingkingnya.
“Untuk?” tanya ku keheranan.
“Tetaplah menjadi sahabatku
dan tetaplah berada di samping dan—“
“Janji” ucapku memotong
perkataanya. Ku kaitlan kelingkingku pada kelingkingnya kemudian.
*****
Mei
2011
Ujian sekolah telah usai.
Namun, aku beserta kawan-kawan lainnya masih belum benar-benar merasa merdeka.
Kami masih harus berjuang dan bersaing untuk dapat masuk perguruan tinggi yang
kami inginkan. Dan kurang seminggu ke depan merupakan hari dimana hajat akbar
di sekolah kami akan dilaksanakan, Hari Perpisahan. Hampir semua siswa antusias
dalam hal ini. Berharap ini merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengukir
sebuah kenangan terindah yang ada. Namun harapan itu seakan jauh berbeda akan
keadaan yang terjadi belakangan ini. Pritha tiba-tiba menghilang. Tiada
sedikitpun kabar darinya. Ia seakan hilang ditelan sang bumi.
Tak hanya sekali aku menghubungi
ponselnya, namun tetap tiada jawaban. Tak hanya satu dua pesan yang ku kirim
padanya, namun tak satupun yang dibalas. Aku coba mengirim pesan padanya
melalui dunia maya, tetap tak ada respon. Hingga hari ini, sepulang sekolah, ku
putuskan untuk mendatangi rumah Pritha.
Ting
tong
Ting
tong
Tak ada jawaban. Kali ini
adalah panggilan terakhir dariku. Sebagaimana adab yang ada, jika sang pemilik
rumah sudah dipanggil 3 kali dan ia tak kunjung menyambut. Maka sebaiknya kita
pulang, karena mungkin sang tuan rumah sedang sibuk atau ada suatu kepentingan,
atau saja ia sedang tidak mau diganggu.
Ting
tong. . .
Bel terakhir telah aku
bunyikan. Berharap kali ini benar-benar mendapat jawaban.
Satu
menit…. Dua menit…
“Maaf, Den. Cari siapa?”
seorang wanita paruh baya berpakaian sederhana menyambutku. Beliau Bi Imah,
pembantu di rumah Pritha.
“Pritha ada, Bi?”
“Em… anu, Den… Emm—“ sahut Bi
Imah ragu.
“Kenapa, Bi? Pritha baik-baik
aja kan?” sergapku kemudian.
“Aden ndak tahu toh?”
“Tahu apa. Bi?”
“Non Pritha kan lagi keluar
kota sama Tuan dan Nyonya”
“Apa? Kok Pritha nggak pamit
ama aku, Bi? Pritha baik-baik aja kan?”
“Em,,, anu, Den.. Bibi… ndak
tahu” jawab Bi Imah ragu-ragu.
“Bibi nggak bohong
kan?”sergapku pada Bi Imah. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal akan
kepergian Pritha dan keluarganya
“Nn…nndak kok, Den. Bener”
jawab Bi Imah dengan suara pelan.”Bener kok Den. Ngapain Bibi bohong. Bener kok
Den” lanjut Bi Imah dengan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, seakan
berusaha meyakinkan kalau Bi Imah tidak berbohong.
“Yaudahlah, Bi. Pramana
pulang dulu. Nanti kalau mereka udah pulang, bilang yah aku kesini nyari
Pritha” ucapku pasrah kemudian. “Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
****
Hening masih ada.
Berputar-putar di antara kami. Aku, Pak Arif, guru Biologiku, dan Pak Sucipto,
Kepala Sekolah. Aku masih terus bertanya-tanya akan alasan mengapa aku
dipanggil ke ruang kepala sekolah. Hal penting apa yang akan dibicarakan beliau
denganku? Kabar baik atau kabar buruk? Dua menit sudah pertanyaan itu
berputar-putar di otakku. Dan dalam waktu dua menit pula, aku serasa akan mati
tercekik rasa penasaran.
“Ehem.. ehem…” Pak Kepala
sekolah berdehem, tanda beliau akan memulai pembicaraan.
Pak Arief tampak
menggut-manggut, tanda beliau siap untuk mendengarkan setiap kata yang akan
keluar dari Pak Sucipto.
‘Dag.. dig… dug.. dyar!!’
detak jantungku berdetak kencang, tanda aku siap untuk menerima segala kabar baik
yang ada, juga sebagai tanda bahwa aku tidak siap menerima kabar buruk yang
ada.
“Begini, Nak Pramana……”
beliau memulai pembicaraan. “apa kamu sudah mendaftar untuk jenjang berikutnya di
salah satu universitas?”
“I..ii..iya, Pak”
Pak Sucipto hanya manggut-manggut.
Perlahan aku mulai berani mengangkat kepalaku. Ku tatap lekat-lekat kepala
botak beliau yang terlihat berkilau di bawah sinar lampu TL.
“Selamat ya, Nak…” Pak Arief
tiba-tiba angkat bicara. “Kamu mendapat tawaran program beasiswa di salah satu
universitas terkemuka, dan—“
“Beneran, Pak!!” sambungku
cepat, tak perduli Pak Arief sudah menyelesaikan kalimatnya atau belum. Yang
penting hepi ajalah :]. “Wah makasih nih, Pak…” ku raih tangan Pak Sucipto dan
Pak Arief, dan ku cium punggung tangan beliau berdua bergantian.
“Iya ya , Nak…. Selamat untuk
kamu” ucap Pak Sucipto penuh wibawa.
“Ada masalah, Pak?”
“Begini, Nak… pihak
universitas telah melihat hasil belajar kamu selama bersekolah di SMA ini…”
“Dan?”sahutku tak sabar.
“Mereka menawarimu untuk
masuk dalam bidang kedokteran. Apa kamu berminat untuk masuk dalam bidang itu? Asal
kamu tahu, Nak. Bapak sangat mendukung jika kamu masuk dalam bidang itu”
“Begitu pula dengan Bapak,
Pramana. Bapak sangat mendukung tawaran itu. Ini kesempatan emas buatmu, Nak…”
tambah Pak Sucipto.
“Biar saya pikirkan dahulu,
Pak” jawabku sekenanya.
“Baik baik… bapak beri kamu
waktu sampai awal bulan depan”
“Terimaksih, Pak”
“Sekarang kamu bisa kembali,
Nak”
“Permisi, Pak..”
*****
30
Mei 2011
Kedokteran? Aku benar-benar
tak yakin akan tawaran itu. Aku sama sekali tak tertarik dalam bidang itu.
Namun Pak Arif benar juga, ini kesempatan besar buatku. Aku harus bagaimana?
Masih dibawah pengaruh rasa
bingung yang tak karuan, ku buka laptopku. Ingin ku hilangkan semua penatku. Ku
gerakan jemariku merangakai sebuah URL yang sedang digandrungi remaja sebagian
besar, www.facebook.com. Setelah melalui
proses log in, aku telah sampai pada beranda dunia mayaku. Betapa terkejutnya
aku saat kulihat akan adanya puluhan pesan dan pemberitahuan pada akun
facebook-ku. Dan…. Itu semua dari Pritha.
Dia kembali… pantaskah aku
mengatakan kata ‘kembali’ untuk munculnya kabar dari Pritha? Huh, aku tak tahu.
“Pramanaaaaaa… toktoktok” suara Ibu buyarkan lamunan ku
yang tak karuan. “Ada Nak Pritha di depan…. Temuin gih,,,”
“Apa? Pritha?” batinku. “Iya,
Bu… bentar…” sahutku kemudian. “Pritha muncul setelah sebulan lebih menghilang…sebenarnya
apa yang dia inginkan?” batinku masih tak percaya
“Hai, Pram….” Sapa Pritha
saat aku baru muncul dari balik tembok. Aku masih tak tahu apa yang harus ku
katakan padanya. Haruskah rasa marah dan kecewa atas hilangnya kabar darinya
secara tiba-tiba, yang ku tunjukan? Atau, haruskah ku tumpahkan segala rasa
rinduku padanya dan mengenyampingkan semua kecewaku?
“Ngapain lo kesini?” tanyaku
begitu saja.
“Sory Pram,… aku…”
“. . . .” :x
“Aku ada keperluan ama
keluargaku di luar kota. Dan itu mendadak banget. Dan aku—
“Nggak bisa pamit atau ngasih
kabar kek?!” potongku, kesal.
“Em… Aku…”
“Kenapa? Apa susahnya sih,
Tha?? Gue kecewa ama lo!!”
“Pram,… aku,,,” dia hanya
menangis. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya. Huh, aku
membenci pemandangan ini, melihat Pritha menangis.
“Udah lah, Tha! Kalo Lo uda
nggak mau kita sahabatan lagi, bilang aja. Nggak usah kaya gitu, ngilang nggak
ada kabar. Sms, e-mail, telpon nggak ada yang lo respon.” Ucapku mencak-mencak.
“Pram,…” suaranya melemah.
Wajahnya yang sedari tadi pucat, makin memucat kini. Air matanya terus
mengalir.
Dia menangis.
Aku kian terbakar api emosi.
“keluar dari sini!” ucapku
padanya dengan nada lebih rendah dari sebelumnya.
“Pram,… aku—“
“PERGI!!!” bentakku kemudian.
Aku berbalik. Berharap Pritha
tak mengetahui akan air mataku yang mulai meluncur mulus di pipiku. Berharap
Pritha segera menghilang dari rumahku. Masih ku dengar isaknya untuk beberapa
lama. Kemudian, ku dengarkan langkah kaki yang gontai menjauh dariku. Pritha
pergi…. Entah dia akan kembali atau tidak,… aku tak tahu…
Aku masih berdiri terpaku di
sini. Di tempat, dimana aku telah mengusir Pritha, sahabatku. Potongan-potongan
episode saat aku bersama dia bermain dalam memoriku. Bagai film yang tengah di
putar pada layar besar, begitu cepat. Gambaran akan kebersamaanku dengan Pritha
teramat jelas terlihat dalam anganku. Haruskah semua kenangan iindah itu
berakhir sampai disini?
*******
Comments
Post a Comment