7 Yearsof Love# potongan 4
the laaaaaast.....................
link previous story : http://aisyahwulansari.blogspot.com/2012/05/7-years-of-love-potongan-3.html
link previous story : http://aisyahwulansari.blogspot.com/2012/05/7-years-of-love-potongan-3.html
Aku hanya dapat terus
terisak. Terus tenggelam dalam banjiran airmata di bawah guyuran hujan. Terus
berkeluh kesah akan semua sakit yang ku rasa, pada pusara di hadapanku. Pusara
yang bernisankan “Findha”. Sosok teristimewa dalam hidupku. Adikku…..
*****
29
Desember 2011
“Kamu pinter banget
menyembunyikan semua ini dari aku. Dasar anak nakal!” ucapku pada sosok yang
masih enggan membuka kedua matanya. Ia masih lelap dalam tidurnya yang panjang.
Meski demikian, aku beserta keluarga Pritha yakin, Pritha pasti akan bangun
dari lelapnya. Bangun untuk kembali tersenyum. Senyum yang mampu untuk membuat
sang mentari malu dan selalu ingin bersembunyi di balik awan.
“Kamu tahu kan hari ini
adalah hari yang kamu tunggu setahun yang lalu. Tujuh tahun persahabatan kita.
Kamu juga tahukan, sekarang aku uda kuliah di bidang kedokteran. Apa kamu nggak
pengen tau ceritaku waktu di kampus? Seru banget, Tha!” aku terus mengoceh
sendiri. Entah, orang-orang di sekitarku telah menganggapku gila atau tidak.
Tak peduli, yang terpenting Pritha segera sadar dan dapat kembali tersenyum.
Walau matanya terpejam, aku yakin mata hati Pritha mampu merasakan semuanya.
Ku letakkan tangannya di atas
kepalaku. Ke genggam erat tangnnya yang dingin. Ku cium punggung tangannya dengan
penuh rindu, penuh sesal.
“Selamat hari persahabatan,
Tha. Seven years of our love” bisikku sambil kembali mencium punggung
tangannya.
Ku benamkan tubuhku dalam
lipatan tanganku. Inginku pejamkan mata, dan menemuinya dalam alam bawah sadar.
Mencari bayangannya dalam tiap kenangan yang terus mengaduk-aduk otakku.
.
. . .
---pukul 21.00---
“Pram…..”
Suara itu terdengar lemah.
Suara yang hampir hilang dari pendengaranku 7 bulan lalu. Suara dari sosok yang
ku rindu, . . . . . . . .Pritha.
“Kamu udah sadar?” responku
spontan. “Biar aku panggil dokter yah, kamu tunggu bentar disini”
“Pram,…” ucap Pritha sambil
memegang pergelangan tanganku, menghentikan langkahku.
“Nggak usah. Aku baik kok.
Aku lagi nggak pengen dapet ceramah dari dokter. Aku mohon..” ucapnya masih
dengan lemah.
“Oke”. Ucapku patuh. “Aku
akan kabarin Mama dan Papa kamu-“
“Pram…” kembali Pritha
menatapku dalam. Ia menggeleng. “Aku nggak mau ngerepotin mereka”
“ya ya ya” jawabku setengah
kesal.
“Makasi :]” ucapnya sambil
nyengir.
“Lo tidurnya lama amat, kaya
kebo—“ ucapku membuka perbincangan pertama kami setelah hampir 7 bulan kami
mematung dalam perbincangan sunyi.
“Oh ya?”potongnya, berusaha
memberi respon yang baik.
“Tapi…. Lo kebo paling cantik
di dunia, Tha.”
“Gombal Lo!”
“Aku masuk kedokteran”
bisikku.
“Selamat, Pram :]” senyumnya
mengembang di bibirnya. Senyum yang selama ini aku rindukan
“Sekarang tanggal berapa ya
Pram?”
“29 Desember 2011 :]”
“ Kalo nggak salah, ini hari
jadi kita sebagai sahabat yang ketujuh ya?” tanyanya padaku, berusaha
mengingat-ngingat semuanya sebaik mungkin. “Selamat hari persahabatn, Pram”
lanjutnya lirih.
“Selamat juga buat kamu, Tha”
dapat ku lihat senyumnya terus mengembang dalam wajah pucatnya. Senyumnya bagai
bintang pagi yang indah.
“Aku pengen ke taman, Pram. Bukannya kita uda
janji untuk pergi ke taman ditahun ke-tujuh persahabatan kita?”
“lo nggak lupa, Tha :].
Makasii” batinku “Udah malem, Tha. Kamu juga baru sadar. Besok aja yah”
“Ayolah, Pram….. semua akan
beda kalau besok. Bukannya kamu juga udah janji?” rengeknya manja
“Nggak, Tha!!”
“Pram,…. Please”
“Diluar hujan, Tha”
“Aku takut aku nggak punya
waktu banyak untuk ini, aku—“
“Lo ngomong apa sih?
Kesempatan kita masih panjang” potongku karena risih akan kalimat yang belum
terselesaikan oleh Pritha.
“Pram,…” ku lihat mata
beningnya mulai tergenangi air mata.
Ini adalah kelemahanku. Aku
paling tak tega jika harus melihat seorang sahabatku seperti itu. “Oke, karena
angka 7 merupakan angka bagus dan katanya sih membawa keberuntungan, aku anter
kamu. Aku harapa ini, akan membawa kebaikan dan keberuntungan untuk ikatan
kita. Selain itu, karna angka 7 adalah angka favoritku, aku akan berbaik hati
sama kamu” ucapku sambil menyentuh hidung Pritha di akhir ucapanku. “Tapi
inget, kamu juga harus sesuain sama kondisi kamu” lanjutku berpetuah padanya.
“Oke, nanti kalau aku uda
nggak kuat. Aku bakal ngelambai’in tangan kok :D”
“Sinting lo! Aku percaya kamu
”
****
. . .
-pukul 23.45-
Hujan masih belum reda, makin
deras malah. Aku dan Pritha masih mematung memandangi tiap tetes air langit
yang turun, kemudian mengembun pada kaca mobil. Kami berhasil sampai di taman
ini dengan usaha yang tak mudah. Malam ini aku telah melakukan satu tindak
criminal. Menculik anak orang, sekaligus membawa kabur pasien rumahsakit yang
baru sadar dari koma.
“Hujannya nggak kunjung reda.
Mending kita balik aja yah. Besok kita ke sini lagi” ucapku pada Pritha yang
sedang asyik melukis pada kaca mobil dengan embunan air yang ada.
Dia bebalik menatapku. Dia
diam dalam beberapa saat. “15 menit lagi hari ini akan berakhir Pram”
“Justru itu, Tha. Mending
kita pulang. Hari udah makin malem dan ini sama sekali nggak baik buat kondisi
kamu, Tha”
“Karena hari tinggal 15 menit
lagi, ayo kita turun dari mobil dan kita langsung menuju ke rumah pohon. Akan
menyenangkan walau waktu kita nggak banyak” ucap Pritha seakan tak mendengar
apa yang aku katakan sebelumnya.
“Tha,… lo dengerin gue ngggak
sih?” protesku pada Pritha yang sedari tadi terus menerawang jauh dan terus
berbicara tanpa melihat aku.
“Pram…. Waktu terus berjalan.
Waktu kita nggak banyak” ucapannya seakan menandakan bahwa ia benar-benar tak memperdulikan setiap ucapanku. “Ayo,
Pram…..” lanjutnya dengan nada memaksa. Setetes bulir bening meluncur mulus
dari hulu pelupuk matanya.
“Tha,… came on…dengerin aku”
paksaku sambli menarik tangannya.
“Please,…” ucapnya melemah. Tetes airmata berikutnya
menyusul jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku nggak mau kamu
kenapa-kenapa Tha. Cuma itu.”
“Aku akan baik-baik aja,
Pram. Aku yang tahu seberapa kuat aku bisa bertahan dari semua ini”
Ku tarik napas panjang.
Berusaha untuk dapat memutuskan yang terbaik, tadi aku sudah mengalah untuk
nekat membawa kabur Pritha ke taman ini, dan sekarang…..
“Okelah, Ayo” kubukakan pintu
mobil untuknya.
“:] thanks, boy”. Ucapnya
senang, tentu dengan sebuah senyum yang sempat hilang selama beberapa bulan
lalu.
Sesaat kemudian ia tampak
bingung. Sepertinya ada masalah dengan kakinya. “Bisa bantu aku untuk sampai ke
rumah pohon?” tanyanya ragu dan sungkan.
“Ow,.. withpleasure
Princess,…:]” ku raih tubuhnya dan ku bopong dia. “Lo makin berat ya, harusnya
tambah enteng!! Dasar kebo!!”
“Sialan lo!! Sini biar aku
pegang payungnya” tawarnya padaku.
Angin bertiup makin kencang.
Pun hujan tak lekas untuk sekejap menghentikan tiap tetes yang ada. Hal ini
makin memberatkan langkahku dan Pritha untuk dapat sampai di rumah pohon kami.
“Aaahh,…” Pritha memekik
kaget saat tiba-tiba payung yang dibawanya terbawa tiupan angin. ‘Pram,… maaf..
payungnya…” ucapnya dengan suara makin lemah yang beradu dengan derasnya suara
hujan.
“tenang, Tha. Bentar lagi
kita sampe” ucapku tergopoh-gopoh.
Ku percepat langkahku.
Tubuhku sudah kuyup, begitu pula Pritha. Melihat wajahnya yang kian memucat,
aku makin khawatir dan merasa serba salah.
.
. .
“Kita udah sampe, Tha” ucapku
pada Pritha yang tampak kian lemah di pangkuanku. Wajahnya kian memucat.
Guyuran hujan makin membuatnya lemah.
“makasii, Pram…” ucapnya
sambil meraba ukiran tulisan yang ada di pohon Mahoni milik kami. “Makasii kamu
udah mau temenin aku, jaga aku—“
“Tha,… udah… :]” ku tatap
matanya yang bulat nan penuh akan ketulusan cinta. Ia tetap menggigil walau
sudah mengenakan jaket miliknya. Ku kenakan jaket ku untuk melapisi tubuhnya
yang kuyup. “Aku seneng banget bisa kenal dan bersahabat ama orang kaya kamu”
“nggak kerasa ya, udah tujuh
tahun kita sama-sama. Rasanya baru kemarin, tapi kenapa ya rasanya hari ini semuanya
akan berakhir—“
“Sssstttt,…… ku letakkan
telunjukku pada bibirnya yang pucat dan gemetar. “Waktu kita masih panjang”
bisikku pilu.
“Aku harap, Pram” ucapnya
lelah sambil menarik masuk tubuhnya dalam dekapanku. “Maaf kalau selama ini aku
nyembunyiin masalah ini ke kamu. Aku udah nggak jujur ke kamu”
Ku peluk ia erat. Semakin
lama semakin ku eratkan dekapanku padanya. Dan makin terasa pula tubuhnya yang
kian melemah dan gemetar. “Tha, kita balik yah. Inget ama janji kamu buat jaga
kondisi kamu”
“Nggak, Pram,….” Ia menggeleng
di dadaku, dalam dekapanku. “Semenit lagi, Pram… hanya tinggal semenit hari ini
akan berakhir.. tetaplah seperti ini. Jangan lepaskan semua ini, Pram.” Ucapnya
makin lirih dan lelah dari sebelumnya.
Ku rasakan kulitnya yang kian
dingin dalam genggaman tangannya. Ku eratkan pula dekapanku pada tubuhnya,
hanya berharap agar ia masih bisa merasakan hangat. “Jangan tinggalin aku kaya
Findha ya Tha”
“Nggak, Pram. Nggak akan.”
Ucapnya pelan. “Dan asal kamu tahu, Findha nggak pernah ninggalin kamu, dia
selalu ada di sisi kamu. Dia bener-bener adek yang istimewa, Pram. Seperti
kata-kata kamu dulu”
“Iya,… dia istimewa” ucapku
dengan linangan airmata yang mulai jatuh. “Sama istimewanya sama kamu, Tha :]”
ucapku pahit. “Aku sayang sama kamu, Tha”
“:] aku juga, Pram” ucapnya
sambil menatap mataku dalam. “Aku sayaaaang banget sama kamu :]” ujarnya sambil
beruaha tersenyum wajar. Meski tetap saja senyumnya makin menambah pahit luka
hati ini.
“I love you” bisikku.
“really?”
“I do. You’re a special one
in my life. My best friend. You never be changed in my heart” lanjutku padanya.
“I’m great to hear that :]. I
love you too, boy. You’re the best in my life. Kamu anugrah paling indah,
Pram.”
Ku dekap tubuhnya. Aku tak
kuasa lagi untuk menatap matanya lebih lama. Tak memiliki daya untuk
mendengarkan setiap kata yang diucapnya lirih dan lelah. Ingin terus ke peluk
ia. Tak ingin melepaskannya. Seakan, jika aku melepaskan dekapanku ini, maka
aku akan kehilangan semuanya. Kehilangan untuk selamanya.
Ku lirik jam tanganku. Waktu
telah menunjukan pukul 00.00 Tepat tengah hari. Jika sang jarum jam bergeser
sepersekian detik saja, maka hari bahagia bagi kami ini berakhir sudah. Bersamaan
dengan berjalannya sang waktu dan bergantinya hari, hujan pun mereda , berganti
dengan rintik gerimis yang turun. Angin yang tadinya bertiup kencang, kini
menjinak berganti dengan tiupannya yang sepoi menenangkan.
“Tha,… ayo balik ke rumah sakit.
Hari udah berganti. Inget kondisi kamu” ucapku memecah sunyi saat ku lihat sang
waktu menunjukan pukul 00.01
“. . . “ –diam-
“Tha,…????” ucapku diterjang
berjuta tanya. Ku tarik ia dari dekapanku. “Tha….????”
Wajahnya tampak sangat pucat.
Bibir merah mudanya, membiru. Kulit tubuhnya terasa dingin. Sangat dingin.
Tubuhnya tak lagi gemetar seperti tadi. Terkesan tak kuasa bergerak malah.
“Tha…….” Ucapku sambil
mengguncang ringan tubuhnya. “Kamu udah janji untuk nggak ninggalin aku, kan?
Tha?”
Ku periksa denyut nadinya
yang terasa amat lemah. Ku lakukan pertolongan pertama sederhana. Ku tekan
dadanya perlahan, untuk memancing reaksi dari detak jantungnya.
Tak lama, ia membuka matanya.
Ia tersenyum.
“Pram,…..”
“Sssst,…. Udah. Sekarang aku
bawa kamu ke rumah sakit.”
Ia mengangguk pelan. “Aku
bahagia banget malam ini.” Ucapnya lelah terbata. “Pram,… maaf aku—“
Ia tak mampu melanjutkan
kata-katanya. Dan pada detik itu pula, tarikan nafasnya memberat, denyut
nadinya melemah, dan,………
“PRITHAAAAAAAAA!!!!!!!” aku
tak mampu melakukan apapun. Ia pergi. Menyusul Findha di sana. “TUHAAAAAAANNNN,…..”
“Innalillahi wa inna ilaihi
roji’uun” ucapku pasrah. Ku kecup kenignya sebagai tanda kasih dan cintaku
padanya. Mungkin adalah kesempatan terakhirku untuk dapat terus manatap mata
bulatnya, mendekap erat tubuh kurusnya.
Angin sepoi-sepoi seakan tak
mampu membawa duka ini pergi. Dinginnya Angin malam yang menusuk tulang, seakan
tak mampu saingi kepedihan dan kepahitan hati ini. Pritha pergi. Separuh jiwa
dan hatiku turut pergi bersamanya. Akankah semua cerita yang ada pun akan pergi
bersamanya??
Comments
Post a Comment