7 years of Love# potongan 3
link posting bagian 2 : http://aisyahwulansari.blogspot.com/2012/05/7-years-of-love-potongan-2.html
“Prithaaaaaaaa” ku teriakkan
namanya sekeras mungkin, berharap dia akan berhenti menjauh dari rumahku. Ku
balikan tubuhku, segera aku berlari menyusulnya.
“Tha…” ku tangkap sosoknya
yang kian menjauh dari pintu utama rumahku. “Prithaaaaaaaa” kali ini ku
teriakkan namanya lebih keras lagi.
Dia berhenti.
Aku pun berhenti berlari.
Dia berbalik.
Aku melangkah mendekatinya.
Dia menatapku.
Aku pun menatapnya.
“Tha…” ucapku dengan napas
tersengal.
“Pram,…. Aku—“
“Maafin aku ya, Tha..” ku
raih tubuhnya dan menariknya dalam dekapan tubuhku.
“Maaf,…Maaf Pram…” ucapnya
sambil terisak dalam dekapanku.
“sssst…..” ku letakkan
telunjukku pada bibirnya yang pucat. “Udah,.. udah…semua udah berlalu. Aku
yakin kamu punya alasan yang kuat untuk kepergian kamu. Em,,,,,aku ada kabar
baik nih,,,”
“Oh ya… apa?” ucap Pritha
sambil mengusap garis air mata di pipinya.
“Aku dapet beasiswa, Tha….”
“Oh ya? Waw, selamat yaa…”
ucapnya girang sambil memelukku. “Hebat kamu…jurusan apa?”
“Itu masalahnya… aku bingung.
Mereka nawarin aku di bidang kedokteran.. kamu tahu kan, aku kurang ada minat
dalam bidang itu—“
“keputusan kamu gimana?”
“. . . “ aku hanya dapat
mengangkat bahu.
“Kamu tanya sama hati kamu”
ucapnya sambil menunjuk dadaku, menunjuk dimana hati kecil berada
“ :] makasii, Tha. Lo emang
yang terbaik…”
“Ntar malem aku mau traktir
kamu makan. Oke? Buat ngerayain ini. Ntar aku jemput deh. Gimana?”
“Nggak usah jemput lah. Nanti
aku usahain ya, Pram…. Aku pulang dulu, tadi aku bilang ke Mama nggak bakal
lama-lama soalnya.. Assalamu’alaikum”
“okeh. See you later, girl!!
Jam 7 yah… Ati ati. Wa’alaikumsalam”
*****
20.00
Satu jam lebih aku mematung
di sini. Ku lirik jam tanganku, berharap waktu berhenti detik ini juga. Ingin
ku berikan kesempatan pada Pritha untuk dapat hadir di sini tepat waktu.
Tapi….. lagi lagi ia tak tepat waktu. Lagi lagi ia tak memberikan kabar padaku.
Ada apa lagi dengannya? Akankah dia menghilang lagi?
Jarum jam menunjukan pukul
20.45. Seharusnya kami telah berkumpul, menghabiskan waktu bersama dengan senda
gurau, dengan tawa, dengan kegembiraan. Tapi…. Yang ada hanya aku yang sendiri,
dalam hening, dalam sepi.
21.00
Ku putuskan untuk kembali ke
rumah seorang diri. Seharusnya aku melangkah pergi dari tempat ini berdua.
Mengantar Pritha pulang, karena hari telah larut. Semua tinggal rencana….. lagi
lagi Pritha mengingkari janjinya. Janji untuk datang pada malam ini. Janji
untuk selalu memberi kabar akan suatu halangan yang terjadi padanya. Lagi lagi
Pritha telah membuatku kecewa.
****
Juni
2011
“Pram,… ada yang nyari tuh!!” seru Rendra
kawanku dalam satu tim basket.
“Siapa?”
“Tuh” ucapnya sambil menunjuk
seorang gadis bermbut panjang dan berwajah pucat.
“Pritha?” desahku pelan,
“. . .”Rendra hanya mengankat
bahu. “Cantik loh, tapi sayang wajahnya pucet banget. Kaya orang sakit parah
gitu. Temuin sono”
.
. . ..
“Ngapain lo di sini?” ucapku
kesal saat sampai di hadapannya.
“Aku tau hari ini kamu ada
jadwal latihan basket. Jadi aku langsung ke sini aja. Dan ternyata tebakan aku
bener, kamu ada di sini”
“Pulang sana! Aku sibuk!”
“Kamu marah?” dia bertanya
dengan wajah polosnya. “Pram, ….aku--”
“Peduli apa Lo!! Pulang sana,
gue nggak butuh temen kaya Lo!! Muna!”
“Aku bisa jelasin, Pram…
malam itu aku—“
“Kenapa? Lo nggak bisa dateng
karena jam di rumah lo mati lagi? Hape lo low batt, jadi lo nggak bisa sms buat
ngasih kabar ke gue?!” omelku panjang lebar padanya. “Udah deh…. Gue capek!!
Nggak sekali lo kaya gini”
“Pram..aku—“
“Dan lo juga tahu kan, gue
paling nggak bisa toleran ama orang muna kaya Lo!!!!”
“Tapi, aku punya alasan untuk
ini, Pram!!! Dengerin dulu penjelasanku—“
“Udah jelas semua!!!”
potongku dengan nada suara yang kian naik. “PERGI LO!!! Enek gue ngeliat lo di
sini!!” kata-kata jahat itu keluar tak terkendali dari mulutku. “PERGI!!!”
Aku berbalik dan segera
melangkah pergi menjauh dari Pritha. Berharap kali ini aku tak akan berbalik
dan mengejarnya seperti dulu. Hatiku terlanjur luka dan bernanah. Aku
benar-benar kecewa.
. . . . .
---beberapa menit kemudian---
“Pram… pram praaam…..” Dudi
tergopoh gopoh ke arahku yang sedang asyik berkeluh kesah dengan bola basket.
“Ngapain?” jawabku malas.
“Cewe tadi... cewe yang
barusan lo temuin—“
“Kenapa lagi?” potongku
cepat. “dia balik lagi? Maksa pengen ketemu gue lagi? Usir aja! Bilang gue lagi
sibuk. Repot amat!”
“Eh…. Bukan!!! Denger dulu!!”
bantahnya. “Dia pingsan!!”
“hah..” sahutku dengan mata
melotot dan hati yang kaget bukan main. “Dimana?”
Segera ku berlari menuju TKP.
Tubuh gadis itu terbujur
lemah. Wajahnya kian pucat. Mengalir darah segar dari kedua lubang hidungnya.
Orang-orang di sekitarnya hanya terdiam, asyik menonton penderitaanya. Segera
ku raih tubuhnya. Ku periksa denyut nadinya. Kian melemah. Pun kulitnya kian
terasa dingin.
“Apa yang kalian lihat hah?
Panggil ambulans!!! CEPAAAAT!!!!” ucapku mencak mencak tak karuan.
“Pritha……… bertahanlah…..”
bisikku padanya lemah.
*****
“Apa? Kanker otak?” aku
tercengang. Pritha tidak mungkin mengidap penyakit itu. Aku tahu dia orang yang
kuat. Tuhan….. “Kenapa dia nggak cerita? Kenapa…. Aku nggak pernah tahu tentang
ini?”
“Maafkan tante, Sayang.
Pritha sangat sayang sama kamu. Dia melarang tante dan om untuk cerita penyakit
ini ke kamu. Dia nggak pengen kamu khawatir, Nak” jelas Tante Vivi dengan nada
yang sengaja dibuat tenang.
“Separah apa kankernya?”
“Sudah stadium akhir. Sebulan
yang lalu kami mencoba untuk menjalani terapi diluar negeri. Namun, pihak
kesehatan di sana sudah menyerah, Nak. Terlambat bagi kami untuk melawan kanker
di tubuh Pritha. Sesampainya kami di rumah, Pritha langsung merengek memaksa
untuk datang ke rumahmu, Nak. Alhasil, beberepa malam lalu tubuhnya kembali
melemah. Kondisinya drop. Tadi pagi, saat dia sadar dan agak membaik, dia
memaksa agar diantar ke tempat latihan basket tempat kamu biasa latihan. Dia
bilang, dia ada janji sama kamu. Tante nggak yakin untuk ngijinin dia ketemu
kamu, tapi dia memaksa. Dan sekarang………” tante Vivi terisak. Kalimatnya
terhenti. Airmuka yang tadi Nampak tegar, kini berubah menjadi sesal.
Satu demi satu kejadian yang
ada, diceritakan Tante Vivi dengan rinci meski diselai dengan isak tangis yang tak
kunjung henti dari beliau. Semua seakan terputar kembali, bagai sebuah film
kelam yang sama sekali tak ingin ku saksikan namun terus ku bayangkan.
“Sabar ya, Te. Pritha itu
orang yang kuat. Tante tahu itu kan?” hiburku pada tante Vivi seadanya.
“Semoga saja, Nak. Dia sudah
cukup lama menderita karena kanker ini. Sudah hampir 9 tahun yang lalu. Dulu
sempat pulih, dan dokter sudah menyatakan dia sembuh. Tapi…… kanker itu muncul
lagi…… ): ” Tante Vivi tenggelam dalam isakan tangisnya yang pilu.
Papa Pritha terdiam.
Aku pun tertdiam, terduduk
lesu penuh sesal. Mengalir air mataku yang seakan percuma. Karena aku telah
gagal melindungi Pritha. Gagal menjaga Pritha.
Kini aku tak tahu harus
berbuat apa. Inginku putar kenbali waktu. Ingin ku cabut semua kata-kata
kasarku pada Pritha. Ingin ku hapus semua prasangka burukku akan dia. Aku hanya
bisa berlari. Membawa diri ini untuk menjauh dari badan Pritha yang masih dalam
kondisi kritis. Aku ingin terus berlari, berharap menemukan sebuah jawaban atas
segala segala rasa yang kini berkecamuk dalam dada.
Tiba-tiba langit mendung.
Tetes-tetes air langit turun basahi tanah bumi. Gemuruh bergelegar, saling
bersautan seakan alam sedang marah. Apakah sang alam marah padaku atas Pritha?
Terkutukkah aku sudah?
.
. .
“Tuhan….. kenapa Engkau
gariskan ini terjadi padaku??????” teriakku tak jelas, sesampainya aku pada
suatu tempat yang dahulu sering ku kunjungi..
“Kenapa Engkau biarkan ini terjadi dalam hidupku untuk yang kedua
kalinya, Tuhan? Belum cukup Engkau hancurkan hati ini dengan kepergian
Findha??!!! Kenapa sekarang Pritha juga harus mengalami hal yang sama dengan
halnya Findha?? Apa aku tak boleh bahagia, Tuhan? Apa aku memang tak pantas
untuk mencintai dan dicintai oleh orang-orang istimewa seperti mereka?”
Aku tahu ini salah. Tak
seharusnya aku menyalahkan kuasaNya yang Mahaagung. Tapi, harus dengan siapa lagi
aku mengadu kini?
“Findha, lo tahu kan gimana
hancurnya hati gue saat lo emang harus ninggalin gue untuk selamanya?” tanyaku
pada pusara yang ada di hadapanku. “Sekarang, gue harus ngalamin lagi yang
namanya kehilangan orang yang gue sayang, Dek… kenapa belum cukup hancur hati
gue kehilangan Lo. Sekarang gue harus gimana Dek? Kenapa Pritha, sahabat gue
juga harus nyusul Lo!!!”
Comments
Post a Comment