7 Years of Love #potongan 1
Tak bosan. Tak akan pernah
bosan aku menatap sesosok gadis di hadapanku. Tetap cantik, meski kini ia
tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat pasi. Entah mengapa, dalam
tak kesadarannya aku seakan melihatnya tengah tersenyum kepadaku. Senyum yang
tak asing buatku. Senyum yang akrab menyapaku di setiap hari-hariku….. dulu,,,,
“Aku merindukanmu”
Ucapku terisak bukan untuk
yang pertama kalinya. Aku yakin ia akan mendengar apa yang ku katakan, walau
tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Hanya suara dari mesin pendeteksi detak
jantung yang ramaikan suasana yang ada kini. Aku merindukannya. Benar-benar
merindukannya.
*****
28
Desember 2010
“Pritha, ada bintang
jatuh!!!”
“Lalu?”
“Kata orang sih, kalau ada
bintang jatuh… segala keinginan kita akan terwujud”.
“Apa kamu percaya sama hal
itu? Kamu kan cowo?”
“Emang cowo nggak boleh
percaya begituan?! Udah deh, mending kita coba dulu ajah!!”
Langit malam bersolek indah
malam ini. Gemintang anggun hiasi kepekatan malamnya. Dan di bawah dekapan
malamnya, ku habiskan waktu bersama Pritha, sahabatku. Seorang gadis cengeng
yang periang, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Gadis kecil keras kepala yang
terus mengajakku untuk main boneka bersamanya, meski ia tahu bahwa aku seorang
bocah laki-laki. Gadis cilik yang super cerewet dan mau menang sendiri. selalu
memaksa aku untuk terus memboncengnya mengelilingi kompleks perumahan kami,
meski kami sudah mengitarinya lebih dari 5 kali.
“Udah berapa lama ya kita
saling kenal?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.
“Nggak tau!! Emang kenapa?
Toh, pada awalnya aku terpaksa kan mau main dan kenal sama kamu!”
“Bawel amat sih, aku
serius,Pram!!”
“Emang siapa yang nggak
serius sih?!”
“Jadi udah berapa lama ya
kita jadi sahabat?”
“Enam tahun”.
“Sok tahu! Emang kamu beneran
yakin?”
“. . . .”
“Prithaaaaaa!!!!” tiba-tiba
suara tante Vivi hadir memecah sunyi yang ada di antara kami.
“Dipanggil noh, Non.”
“iya iya,..aku duluan ya
Pram. Sampai besok…:]”
“Aku yakin banget,Tha. Kita
udah deket selama enam tahun. Aku nggak bakal lupa. Nggak akan pernah lupa,
Tha. Besok adalah genap enam tahun pershabatan kita. Semoga kamu juga nggak
lupa”, ucapku dalam hati setelah sosok Pritha melangkah menjauh dariku.
*****
29 Desember 2010
“‘dddrrrrt….dddrrrttt…ddrrrttt’
From
: Pritha
+628133xxxxxxx
Pram,
jangan lupa ya. Hari ini kita janjian di taman biasa. Jam 9. Oke? Aku tunggu.
. . .
Sekali lagi ku lirik jam
tanganku. Pukul 9.05. Sampai saat ini aku belum menemukan sosok Pritha. Tak
biasanya ia terlambat. Dia selalu tepat waktu. Padahal, tadi aku sudah
benar-benar terburu waktu, berusaha untuk tak terlambat walau hanya untuk kali
ini saja. Kekesalanku mulai muncul. Apa Pritha sengaja datang terlambat untuk
mengerjai aku? Awas saja dia.
Sembari menunggu, ku pandangi
tulisan yang terukir di pohon Mahoni yang rindang ini. Kami menulisnya tepat
enam tahun yang lalu. Dan sejak itulah, kami tetapkan hari itu sebagai hari
jadi kami sebagai seorang sahabat. Sahabat yang akan selalu hadir disaat salah
satu di antara kami jatuh ataupun sebaliknya. Sahabat yang selalu menjadi
pendengar paling baik bahkan terkadang melebihi orangtua kami sendiri. Selalu
ada. Selalu bersama. Sekarang. Dan selamanya. Amiin :]
9.15. Pritha masih belum
menampakkan sosoknya. Apa dia baik-baik saja? Tak seperti biasanya ia terlmbat.
Apalagi dia yang membuat janji. Tak ada jawaban dari panggilan ku ke ponselnya.
Semua pesanku juga tak mendapat respon.
To : Pritha
08133xxxxxxx
Tha,
kamu dimana? Uda jam beapa ini, Sayang? Inget ya, aku sibuk. Nggak bisa nunggu lama-lama
aku. Kalau bisa bales sms ini. Harus!!!. Still waiting for you, Tha.
Tiga puluh menit.
Empat puluh lima menit.
Dan sekarang, hampir satu jam
aku menunggunya. Pritha masih belum hadir di sini. Aku ingin marah. Aku
benar-benar merasa dihianati. Tapi, sepertinya aku tak bisa. Ingin aku segera
angkat kaki dari tempat ini. Hilang harap sudah untuk yakin bahwa Pritha akan
menginjakkan kakinya di taman ini. Baiklah lima menit lagi. Ku beri kesempatan
lima menit lagi. Tak lebih. Pritha, ku mohon…
----Lima
menit kemudian….----
“Pramana!!!”
Sebuah suara menghentikan
langkahku. Suara yang tak asing, begitu akrab di telingaku, namun terdengar
lemah. Suara Pritha. Aku berbalik. Dapat ku lihat seutas senyum tersimpul di
wajah Pritha. Ia tampak pucat. Lemas. Apa dia sakit? Tapi,….
“Maafin aku yah, Pram….” Dia
berhamburan ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. “Kamu marah kan sama aku?
Maaf banget, Maaf”.
Ku rasakan bulir-bulir bening
hangat basahi bajuku. Aku tak mampu berkata-kata. Aku sendiri bingung dengan
perasaan yang berkecamuk di dadaku. Apa ku harus marah pada sahabatku? Atau
apa? Aku harus bagaimana? Aku tak tahu.
“Nggak, Tha… nggak,….” Ku
tarik tubuhnya dari dekapanku.
“Pramana,…??” ujarnya pelan.
Meluncur lagi bulir-bulir bening dari kedua pelupuk matanya.
“Nggak, Tha…. Nggak ada yang
perlu dimaafin. J” ku
rasakan dingin pipinya saat ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk
matanya. “Emang tadi kamu kemana?”
“Emm,… anu… ee… er…
tt..taadi…”
“Tadi kenapa?” potongku sambil
menariknya untuk duduk di rumah pohon kami.
“Tha, tadi kenapa?” ku ulang
pertanyaanku sesampainya kami di atas (di rumah pohon)
“Tadi,….. jam di rumahku
mati. Ya, jamnya mati. Jadi aku nggak tau kalau uda jam 9 lewat. Sori yah,…”
“kenapa nggak bales sms ku?
Toh kamu juga bisa lihat jam yang ada di hape kamu kan?”
“Em, hapeku mati. Batrey.nya
habis. Sori…”
“Trus, jam di rumah kamu kan
nggak cuma satu kan, Tha?”
“Iya sih, Cuma nggak tahu
tuh… pada rusak berjamaah. Tadi papa juga telat pergi ke kantor. Trus mama
juga—“
“iya iya. Aku ngerti kok.
Nggak usahpanjang-panjang ceritanya. Bawel!!”
“Dasar kamu!! Masih aja ya
nyebelin.”
“Emang kamu ngapain ngajak ketemuan? Mau
traktir nih?”
“Iih, nih orang. Doyan banget
ama yang gratisan. Emang kamu lupa ya?”
“lupa?”
“hari ini kan genap enam
tahun kita sahabatan. Pikun banget sih kamu!!”
“O.” jawabku sekenanya.
“Sumpah ya, kamu itu,….. awas
kamu, Pram…!!!” protesnya sambil memukul ku gemas.
“Tentu aku nggak lupa, Tha.
Dan aku seneng kamu juga nggak lupa”, batinku.
. . . . .
Kami habiskan seharian untuk
mengulang segala cerita akan kenangan yang telah kami jalani bersama. Segala
protes ia ajukan atas keisenganku selama ini. Dengan riang ia bercerita dan
tentunya dengan senyumnya yang tak pernah hilang. Selalu hadir seperti
biasanya. Senyumnya indah, meski harus hadir di wajahnya yang selalu pucat.
Sejak awal kami bertemu, memang ia tampak pucat. Awalnya aku mengira dia mayat
hidup, tapi…. Aku ragu akan ada mayat hidup yang bawel dan super cerewet
seperti dia. Dia tergolong anak tertutup. Jarang keluar rumah. Orangtuanya
super protektif terhadapnya,meski kini ia sudah duduk di kelas XII SMA. Tapi,
aku tahu Pritha bukan anak manja. Aku juga yakin, orangtua Pritha pasti punya
alasan kuat untuk bertindak protektif terhadapnya hingga detik ini. Mungkin, karena dia anak perempuan satu-satunya,….
“Tha,…”
“Apa?”
“Kamu janji nggak bakal kaya
tadi ya?”
“Maksud lo? ” jawabnya
terheran-heran akan sikapku.
“Dasar oneng ya!! Gue tuh
coba bersikap perhatian dan romantis sama lo!! Respon yang agak bagus dikit
kek!!” protesku.
Dia
hanya nyengir dan kembangkan sebuah senyuman di wajahnya kemudian. “Pram, kamu
mau janji sesuatu sama aku?”
“Apa’an?”
Dia menatapku lekat-lekat.
Tampak sebuah rahasia tersimpan dalam dirinya. Sesuatu yang sengaja
disembunyikan dariku olehnya. Ditariknya napas panjang, dihembuskannya perlahan
kemudian.
“Kalau nanti aku nggak bisa
lama-lama ada sama kamu, ataupun nggak bisa lagi main bareng kamu, kamu jangan
marah sama aku yah, kamu—“
“Kamu ngomong apa sih?”
potongku cepat. Kata- katanya sangat tak ku mengerti. Bahkan aku merasa aku
membenci untuk mengerti kata-kata yang baru saja ia ucapkan.
“Dengerin dulu…., Pram”
“Bodo amat!!” jawabku
sekenanya.
“Pramana,…” rengeknya.
“Udah sore, yuk pulang. Aku
anter”
“Tapi,…”
“Udah, Aku nggak mau Tante
Vivi entar ngomel-ngomel ama aku…”
“Pram,…”
“Udah. Ayo!!..” paksaku
sambil menarik tangannya yang makin terasa dingin.
*****
pernah denger nama pramana deng dihidup loe kak !
ReplyDelete