DILEMA (Awal Sebuah Pilihan : sahabat dan cinta)
Aku masih terpaku menatap
lekat-lekat sosoknya.Seorang gadis yang sebaya denganku, yang telah cukup lama
menjadi teman akrabku.Aku pun hampir tidak mengingat, bagaimana kami bisa
saling mengenal dan berlanjut menjadi seorang sahabat.Ya, sahabat. Sesuatu yang
spesial bagi tidak sedikit orang.Sosok yang selalu ada saat kau jatuh hingga
kau telah berada di atas angin.
Keisya.Merupakan panggilan
akrab untuknya.Dikatakan dewasa, dia sungguh kekanak-kanakan.Disebut penyabar,
tidak selalu seperti itu keadaannya. Namun entah karena hal apa aku sanggup
berlama-lama di dekatnya. Waktu satu jam bukan lagi waktu yang cukup memuaskan
bagi kami untuk saling bercerita dan berkeluh kesah. Mulai dari segala hal yang
sedih, aneh, lucu, keren menurut versi kami, dan banyak lagi hal-hal tak
penting yang kami bahas.
‘Sahabat
Selamanya’
Sekiranya itu adalah
ikrar setia kami untuk terus bersama hingga tangan Tuhanlah yang memisahkan.
Jika kalian pernah membaca sebuah novel Firefly
Lane karya Kristin Hannah, kalian pasti akan menemukan dua tokoh yang telah
membuktikan kesetiaan janji mereka. Janji untuk bersahabat selamanya.Terlalu
berlebihan memang, jika kami harus disejajarkan dengan kedua tokoh istimewa
itu, Tully dan Kate. Namun, dalam segala situasi yang penuh dengan kecambuk
akan kelabilan ego kami masing-masing, kami mencoba untuk bisa memenuhi janji
kami sabagai sahabat selamanya.
Hingga semua itu
berubah keadaannya.Terjadi begitu saja.Dan berhasil menghancurkan semuanya
dalam sekejap.Tepat di pertengahan Oktober lalu, semua itu kepahitan berawal
dan sebuah hubungan yang erat pun berakhir.Penghianatan.Sebuah kata kunci yang
terasa pantas untuk disandang.
“Sya,…….”. tiba-tibaKeisya
datang padaku dengan berderai air mata. Seperti biasa, ia meletakkan kepalanya
di pundakku.
“Ada apa, Kei? Cerita
aja, nggak usah kaya begini lah”.
“Kak,….”. ucapnya
menggantung. Tampak keraguan darinya untuk bicara.
“Iya, Dik… Ada apa?”
“Dia jahat, Kak…
-hikshikshiks L-“,
ucapnya terisak.
“Maksudmu?”
“Farhan mutusin aku,
Kak”.
“Apa?Bagaimana
bisa?Awas aja kalau aku ketemu ama dia. Huh!” seruku geram penuh umpat pada
Farhan.“Memang apa yang sudah terjadi?Kalian bertengkar?”
Keisya hanya
terdiam.Isaknya terdengar makin dalam.Makin perih menusuk relung batinnya.“Baiklah,
kalau kamu nggak bisa cerita nggak apa-apa.Tapi ingat ya, aku selalu ada buat
kamu”, ucapku berusaha menghiburnya.
“…. J….”. ia hanya tersenyum dan
menatapku mendalam. “Terimakasih Rasya. Terimakasih”, ucapnya diiringi dengan
jatuhnya bulir-bulir bening pada pipinya.
“Yang penting kau
bahagia, Dik. Bukankah kita akan menjadi sahabat selamanya?”.
“Untuk sahabat sejati
selamanya”, sahut Keisya sambil mengaitkan kelingkingnya pada
kelingkingku.Tampak sebuah senyum tersungging di wajahnya.Ia tampak manis,
meski aku tahu ia tengah membohongi dirinya sendiri dengan senyumnya yang penuh
kegamangan saat ini.
******
Hari-hari muram buat Keisya
telah berlalu.Dapat terlihat lagi auranya yang periang dan senyumnya yang
menggoda. Dengan centilnya ia menghidupkan suasana di kelas kami. Mungkin, itu
salah satu alasan mengapa aku rela menjadi sahabatnya.
“Wah, lagi seneng ni
ye…”, godaku padanya.
“Maksud kak Rasya apa
sih?Dateng-dateng langsung nyeplos begitu? Plis deh,…”, timpalnya padaku.
“Sepertinya ada
sesuatu nih. Makanya si putri ini lagi doyan nyegar-nyegir nggak jelas”.
“Emang menurut kakak
begitu ya?” ujarnya tanpa menatap aku, sambil nyegar-nyegir tak jelas.
“Inggih, Sayang….
Emang ada apa toh? Cerita dong”.
“Rasya tahu Bramasta
kan?”
“Emang kenapa?”
“Orangnya perhatian
ya, Kak. Baaaiiikkk banget”
Aku sangat terkejut
akan apa yang baru saja dikatakan Keisya. Entah aku merasa ada sesuatu
mengganjal di hatiku.Ada serpihan rasa tak rela yang menghujam dada.Seketika lidahku
kelu. Tanpa ingin membuatnya kecewa akan responku yang tidak cukup baik, ku lemparkan
senyum padanya. Berharap ia tak menyadari akan adanya kegamangan dalam hatiku.
*****
Mulai saat itu, Keisya
tak lepas dari topic yang membahas tentang Bramasta.Anak laki-laki di sekolah
kami yang bisa dikatakan tenar. Berperawakan tinggi, putih, bermata sedang, dan
jika tersenyum maka akan timbul sebuah cekungan di sudut pipinya. Dan semenjak
hari itu pula, waktu malamku terasa panjang dan melelahkan.Bramasta adalah kawanku
saat kelas 4 SD dahulu. Kedua orangtua kami pun sudah cukup mengenal.Tak jarang
Ibu mengundang mereka –Bramasta dan keluarga- dalam setiap acara penting
keluarga kami, begitu juga sebaliknya.Kami tergolong dekat, walau kini pada
nyatanya hubungan kami semakin merenggang. Bahkan jika aku menceritakan hal ini
pada teman-teman di sekolah ku kini, sungguh mereka akan benar-benar tidak
percaya. Mustahil untuk dapat dipercaya oleh mereka.Tak apalah, sempat mengenal
bahkan mejadi kawannya pun jadi hal istimewa buatku.Dan semua yang telah
terjadi antara aku dan Bramasta seakan
sudah cukup memberikan alasan untuk menumbuhkan rasa
kagum dari ku untuknya. Dengan terus melajunya sang waktu, rasa kagum itu kian
menjalar, merambat dan bersarang ke dalam ruang-ruang kosong di benakku.Semakin
lama, semua rasa itu kian mendalam. Dan kini, . . . .tepat dihadapanku. Seorang
gadis yang telah kuanggap bak saudara, menceritakan sosok Bramasta dengan
binar-binar kekaguman yang tampak di matanya.
“Apa kamu mengagumi,
Bramasta?” tanyaku tiba-tiba pada Keisya.Semua terasa terlontar begitu saja
dari mulutku.
Keisya diam.,
tersenyum dan melempar pandangannya pada goresan putih yang menggantung di
langit biru yang gagah. “Menurutmu Rasya? Apakah seperti itu adanya?” ucapnya
kemudian. Tergores sebuah senyum dari bibirnya.
*****
Entah untuk yang ke-berapa
kalinya aku membolak-balikkan tubuhku di atas ranjang.Nyanyian jangkrik
terdengar makin lantang, seiring dengan terhentinya suara riuh manusia yang
rutin terdengar di pagi hari. Dari balik jendela, cahaya bulan telah memberi warna
perak pada pepohonan di luar sana. Lambaian tirai-tirai di kamarku seakan
mengabarkan bahwa sang angin darat telah menjaga nelayan-nelayan yang tengah
memulai harinya demi sepincuk nasi. Ku lempar pandangan pada jam dinding yang
menggantung di seberang ranjangku. Pukul 02.00.Hingga saat ini kedua mataku
enggan terpejam, walau perihnya mata ku rasa sudah.Kata-kata Keisya pagi tadi
masih terngiang jelas dalam anganku.“Ah, aku tak boleh seperti ini. Pun tak ada
guna aku mementingkan hatiku sendiri.Toh, Bramasta tak memiliki perasaan apapun
padaku. Bukankah cinta tak harus memiliki?” batinku lirih.Cinta.Inikah
rasanya?Sesuatu yang selalu terdengar indah, magis, dan luar biasa, telah
menjangkit diriku.Sesuatu yang selalu dibuat istimewa oleh para pengarang maupun
penyair. Tapi,… mengapa semua seperti ini? Terasa sakit, berat, dan
memilukan.Makin meracuni alam pikiranku yang kalut.Sungguh buruk kenyataan
cinta yang sesungguhnya.Namun semua kembali pada satu pertanyaan singkat,
“Pantaskah aku merasakan cinta saat ini?”
*****
“Sya,…Rasya!” panggil
Nadine tergopoh-gopoh.
“Ada apa?Santai aja
lagi, nggak usah lebay sampai mengos-mengos begitu”.Ucapku sekenanya.
“hosh.. hosh.. Itu…hosh hosh… emmm, i..ttu lho…” ucapnya
tak jelas sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Hadeh, ngomong apa
to, Mbak yu… atur napas dulu dah, tenang”.
Dalam waktu
sepersekian detik, Nadine kembali bernapas normal. “Kei,….Kei,.. Kei, Rasya..”
“Kei? Ada apa? Kenapa
Keisya?” responku panik seketika.
“Dia lagi berantem di
kantin. Anak-anak malah pada nyorakin mereka, ngomporin gitu-….”
“Oke,
makasih”.Responku singkat dan segera berlari ke arah kantin.Walau aku tahu
bahwa Nadine belum selesai bicara tadi. Aku harap ia tidak marah dan bisa
mengerti.
Gerombolan anak
laki-laki dan perempuan riuh, membentuk formasi lingkaran tak beraturan. Mereka
meneriakkan nama Kei dan Teressa. Segera ku berlari menuju kerumunan dan beradu
badan dengan yang lainnya agar aku dapat menempati posisi terdepan. Begitu
sampai di barisan depan, dapat ku lihat Kei dan Tere yang saling menjambak.
Wajah mereka berdua merah padam, sama-sama terbakar emosi menggebu.Tak membuang
waktu aku menuju ke tengah-tengah berharap dapat melerainya.
“Hei,
hentikan!Hentikan semua ini!” teriakku cukup keras.Sialnya suaraku kalah terdengar
daripada teriakan masal yang tengah mendukung jagoan mereka yang tengah
bertanding.
‘Bruak!!!’
Aku jatuh tersungkur
saat aku berusaha menengahi mereka berdua. Tangan Tere mendorong tubuhku keras
secara tidak sengaja –mungkin memang tak sengaja, aku tak tahu-. Keisya
menatapku yang merintih lekat-lekat.Ia melepaskan diri dari rengkuhan tangan
Tere, dan bergegas menghampiriku. Masih dengan wajah yang merah padam, Tere
mentap aku dan Keisya bergantian.Tatapan yang seakan bermakna,
aku-akan-memberikan-pelajaran-yang-lebih-dari-ini-anak-bau-kencur. Ia berlalu
dengan senyum puas karena merasa telah menang atas Keisya.
“Kamu nggak apa-apa,
Rasya?”
“Yang seharusnya
Tanya itu aku, Bodoh. Kamu nggak apa-apa?”
“Sial, semua
gara-gara cewek jelek dan bawel itu.Awas aja dia. Berani banget dia macem-macem
sama kamu, Sya”, umpatnya kesal bukan main.
Kei berdiri dan
berjalan menghampiri Tere yang melangkah belum jauh dari TKP sebelumya. “Tere!
“ teriak Kei. Tere berbalik, “Apa lagi anak bawang?”
‘Plak!’
Pukulan keras melayang
dari tangan Kei ke pipi Tere. Saat tangan Tere hampir meyentuh permukaan pipi
Kei, sebuah tangan menghentikannya.
“Bramasta”, ucap Tere
dan Kei hampir bersamaan.
“Udahlah, kalian
jangan kayak anak kecil sepeti ini.Apa kalian nggak mikir kalau perbuatan
kalian mencoreng nama baik kalian sendiri?” ujar Bramasta sok bijak.
Tanpa berkata sepatah
katapun, Tere berlalu.Terbesit kilatan amarah yang kian berkobar di
matanya.Bramasta menatap wajah Keisya teliti.“Panampilanmu acak adul
banget.Sumpah. Kamu juga luka, di obtain ke UKS gih,…….”
Bulir-bulir bening
mengalir mulus di pipiku.Aku tak kuasa lagi untuk menahan genangannya. Hatiku
benar-benar terasa terguncang melihat apa yang terjadi pada Rasta dan Kei. Mereka
kini tengah berdiri di hadapanku, berjarak sangat dekat. Tampak rasa cemas dari
air muka Rasta. Aku berlari.Menjauh dari pemandangan yang memekakkan luka di
hatiku.Aku berlari megikuti kemana pun langkah kaki terarah.
*****
“Kak Rasya,
tunggu..”, Kei memanggilku yang sedari kemarin berusaha menghindrinya. “Sya,
kamu marah sama aku?Apa karena aku berantem waktu itu ya? Aku minta maaf”.
Ku tatap mata
bulatnya mendalam. Mata yang membuat setiap orang akan menaruh simpati padanya.
“Iya aku maafin kok.Lain kali jangan kamu ulangi, inget orangtuamu nggak pernah
ngajarin kamu untuk berantem kaya ayam bodoh.Apalagi ini Cuma hal sepele”.
“Maaf, Sya. Aku….”
Air mata menggenang di kedua pelupuk matanya, selang beberapa detik bulir-bulir
bening itu tumpah ruah. “Maafkan aku, Sya,,,”
Ku raih tubuhnya dan
ku dekap ia. Aku beruaha untuk menentramkan hatinya.“Iya, kei aku maafin kamu.
Dan aku juga minta maaf ya, Kei….”
Kei menarik dirinya
dari tubuhku.Ia menatapku, “Maaf? Untuk apa?”
“Untuk,….segalanya,
Kei. Segalanya”, jawabku mnggantung.Aku terus terhanyut dalam tatapan matanya. “Kei
maafkan aku yang belum seutuhnya rela melepaskan perasaanku pada Rasta
untukmu”, batnku dalam hati.
“Oke, daripada larut
dalam kesedihan yang super nggak jelas gimana kalau nanti kita hang out. Makan
bakso atau mi ayam?” tawar Kei padaku, sambil menyeka jalur yang membekas atas
air matanya.
“Aku kenyang. Mungkin
lain kali. Aku minta maaf”.
“Sayang sekali. Tapi,
tak apalah”
|”Emm, kalau boleh
tahu ada masalah apa, antara kamu sama Tere?”
“O, jadi gini
ceritanya-..”.
*****
Matahari kian meninggi.Panasnya
sungguh menyegat, serasa membakar hangat ubun-ubun kepala.Ku kayuh sepeda
menuju perpustakaan umum.Dalam kondisi kalut seperti ini, ku luangkan sedikit
waktu untuk sekedar mambaca buku, berharap semua masalah dapat terlupakan walau
hanya sekejap.
Begitu sampai di
dalam. Ribuan buku yang tertata rapi dalam rak-rak yang saling berjajar. Ku
perintahkan langkah kakiku menuju kumpulan buku yang berlabel “Sastra dan Karya
Fiksi”.
“Rasya!” tiba-tiba
sebuah suara yang tak asing bagiku terdengar keras memanggil.
“Hei, Kei! Tumben ke
sini.Sama…?” belum genap aku menyelesaikan kalimat tanyaku, sosok Rasta
menyusul di belakang Kei.“Sepertinya aku sudah tahu jawaban atas pertanyaanku
sendiri”. ujarku kemudian.
“Ku akui kau memang
cerdas, Rasya”.
“Hei, Rasya! Udah
lama banget nggak ketemu.Ngilang kemana aja kamu?”Rasta tiba-tiba datang dan
menyapa ku.
“Bukankah yang selama
ini sering ngilang itu kamu ya?Secara anak tenar gitu?”
“Bisa aja kamu,
Sya.Kamu belum berubah ya.Masih pinter ngeles kaya dulu”.
“Oh ya?” jawabku
singkat.“Aku emang nggak berubah, Rasta.Begitu juga perasaanku ke kamu. Mungkin
selamanya akan tetap sama”, benakku kemudian. Jujur saja, seketika jantungku
berdebar kencang, aliran darahku mengalir begitu cepat.Tubuhku gemetar.Tangan
dan kakiku terasa kesemutan.
“Ehem..ehem… ada yang
dikacangin di sini nih”, Kei berkomentar atas suasana yang terjdi.
“Wah, ada yang marah
ni ye”, godaku.
“Oke.Kei, bisa kamu
cerita gimana kamu bisa kenal dan bersahabat sama cewe bawel, cerewet, dan
cengeng kayak dia?”
“Oh, gitu? Awas kamu
ya”.
“Kamu ngancem
ceritanya nih?” goda Rasta padaku.
Mulai detik itu, ku
rasakan kembali kedekatanku dengan Rasta. Dan dapat ditebak, aku semakin sukar
menghapusnya dari hatiku. Seakan ada harapan untukku. Jujur saja, aku merasa
dia sangat perhatian kepadaku. Aku nyaman berada di dekatnya. Aku sering
menghindari kontak mata dengannya, aku tak kuasa menatapnya lama. Tak jarang
Rasta tersenyum geli dengan tingkahku yang serba salah. Namun, kami tidak hanya
berdua saja dalam melewati hari. Ada Keisya. Sahabatku yang juga saingan hatiku
akan Rasta.
*****
‘Drrrrtt,,,ddrrrrtt,,’
Handphone ku bergetar.Ada sebuah
pesan dari Rasta. Jujur, aku telah menantikannya sejak semalam. “. . . Happy
Birthday, Friend. Moga tambah suskses aja dan selalu berada dalam naunagn
rahmat-Nya.Amiin. O ya, Sya hari ini aku mau ngundang kamu untuk makan bareng
keluarga aku.Toh, udah lama juga kita nggak makan bareng.Jangan lupa kenakan
gaun ungu itu. Aku harap kau menyukainya. . . .”, sms panjang lebar dari Rasta membuatku
gembira dan bingung. Gembira tas undangannya dan bingung perkara gaun ungu yang
ia sebutkan dalam pesannya. Gaun apa yang ia maksudkan?
“Kei, kamu nerima titipan nggak?
Kiriman pos gitu, ada nggak?” tanyaku pada Keisya yang kini tinggal seatap denganku.
Kini lagi-lagi kami kuliah di tempat yang sama. Dan ujung-ujungnya, kami
memutuskan untuk tinggal di rumah kos satu atap.
“Hah, ng..ng kiriman… tt ..
ttittipan? Ng..ng.. ng… aku nggak tahu tuh. Emang kenapa?” jawabnya dengan air
muka yang aneh seketika.
“Nggak, aku butuh banget barang
itu.Ada hal penting untukku.Terimakasih”.
“Yap, aku pasti akan memberimu
kabar seputar kiriman yang datang, Rasya. Itu pasti.”
“Aku percaya padamu, Kei”.
“Ngng, Rasya,…”
“Iya, Kei?”
“Selamat ulang tahunJ”
“Terimakasih, Sobat. Kau yang terbaik”.
*****
Hatiku masih terbalut
gelisah dan bersalah. Gaun pemberian Rasta tak berjejak, hilang. Aku pun tak
menghadiri undangan makan malam dari keluarga Rasta. Aku tak tahu harus berkata
apa pada mereka perkara gaun yang hilang itu. Aku malu. Rasta maafkan aku.
‘Bruak!!’
Sebuah kotak bersampul hitam
jatuh dari lokerku. Penasaran, ku buka bungkusan kotak itu.Dan ku lihat isinya,
sebuah kaset rekaman dan sebuah buku harian yang persis dengan milik Keisya.
Apa maksudnya ini. Tak betah didekap penasaran, ku setel rekaman itu. Dan
ternyata……
******
“Apa maksudmu melakukan ini
semua, Keisya? Apa salahku padamu?” makiku pad Keisya setibanya aku di rumah.
Awalnya aku tak percaya akan apa yang ku lihat dalam rekaman itu, tapi pernyataan
Keisya pada buku hariannya cukup menjadi bukti.
. . . Tuhan, sungguh aku tak rela ini semua terjadi.Ternyata selama ini Kak
Rasta lebih menaruh kagum pada Rasya.Bukan padaku! Tadi pagi, aku menemukan
sebuah bingkisan bersampul ungu di depan pintu. Dibawa penasaran, kemudin ku
buka isinya. Ternyata itu adalah kado ulang tahun dari Rasta untuk Rasya .Sungguh
hati ini terbakar. Hatiku berkecamuk. Haruskah aku utamakan sahabatku atau
perasaanku? Tak berselang lama, ada seorang gadis kecil melintas di hadapanku.
Ku panggil ia, dan ku berikan gaun ungu itu padanya. Aku berkata padanya, bahwa
ia harus memakai gaun ini jika tiba waktunya nanti. Ia tersenyum bahagia dan
berlalu. Kembali aku menitihkan air mata. Rasya, maafkan aku.Sungguh aku tak
kuasa menerima semua ini.. Rabu, 20
Oktober. . . .
“Rasya, aku… ak akk,..akkuuuu….”
“Sudah cukup, Kei.Aku lelah
denganmu. Benar apa yang Tere katakan padaku. Kau memang tak punya hati. Kamu
lebih mementingkan urusan dan kebutuhanmu sendiri.”.
“Tere? Apa yang telah ia
katakan?”
“Tak penting. Yang terpenting
adalah, aku telah menyadari bahwa kau adalah seorang penghianat besar. Aku
kecewa padamu”.
“Aku bukan penghianat. Aku
sahabatmu, Sya’.
“Sahabat? Tidak lagi untuk
sekarang dan seterusnya”. Usai bicara aku lekas berlalu.
“Rasya,…”
Langkahku terhenti. Hatiku
berontak untuk mencabut semua yang telah ku ucapkan. Namun, emosiku tak dapat
teredam lagi. “Oh ya, Kei. Mulai siang ini aku tidak lagi seatap denganmu.
Semoga kau segera tenang atas kepergianku. Dan,… terimakasih”, ucapku tanpa
berbalik.
******
‘drrrrtttt…. Dddrrrtttt…’
Handphoneku bergetar untuk yang
ke-sekian kalinya. Terpampang nama Keisya di layar handphoneku. Sudah hampir
dua minggu aku tak menjawab sms atau menerima panggilan darinya.Hatiku masih
nyeri saat mengingat semuanya. Aku juga menghindari Rasta. Jika Keisya memang
benar-benar menginginkannya, akan ku relakan dia. Mungkin Rasta benar-benar
bukan untukku.
Ku tatap lekat-lekat foto yang tengah ke dekap. Bergamabar 3
remaja, satu laki-laki dan dua wanita. Mereka tersenyum riang menatap kamera.Di
bawahnya tertera tulisan SAHABAT SEJATI SELAMANYA.
Air mata mengucur deras.Menusuk
luka hati yang seakan terlanjur bernanah.Luka hati yang tak pernah aku
inginkan.Luka hati yang telah mengorbankan sesuatu berharaga dalam duniaku,
persahabatanku..
ini nyata ga ?
ReplyDeletenot at all of the part....:D
ReplyDeleteterlalu lebay klu nyata kayanya......