Lebaran Nggak Sendiri

Heboh rumah Dini menyambut lebaran kali ini. Bukan hanya karena sibuk mempersiapkan apa-apa yang dibutuhkan saat lebaran, namun Dini memancing sebuah keruwetan baru yang membuat gempar penghuni rumah.
Dini terus merengek, sementara kak Doni makin gencar menggoda adiknya yang baru beranjak dewasa ini. Ivan, anak paling bontot di keluarganya, lari ketakutan saat Dini makin memajukan mulut dan melipat wajahnya. Memang keputusan Dini benar-benar menimbulkan angin ribut di keluarga kecilnya. Ngotot Dini enggan untuk ikut ke rumah si Mbah, neneknya di Semarang. Padahal bisa dibilang, bahwa acara mudik ke Semarang merupakan kegiatan rutin yang diwajibkan setiap tahunnya. Kak Tanya, kakak perempuan Dini juga merasa keberatan. Apa jadinya jika harus jelan-jalan ke mall di Semarang sendirian? Walaupun tampak menyebalkan, kakak-kakak Dini sangat sayang pada Dini bahkan mereka sangat tidak setuju kalau harus ke Semarang tanpa Dini, apalagi harus meninggalkan Dini sendirian di rumah.
Dengan alasan karena sudah mempunyai acara dengan geng barunya, Dini mantap untuk tetap tinggal di rumah. Dengan bangganya, Dini mengumumkan rencana kegiatan geng mereka untuk berkunjung ke panti sosial saat lebaran dengan lantang. Berharap agar Ika “mantan” sahabatnya bisa mendengar dari rumah sebelah. Ya, Ika dan Dini berpisah sejak Dini tau bahwa Ika sengaja merebut gebetannya, Jeki. Dan mulai detik itu hingga saat ini, Dini sudah membatasi diri untuk berhubungan dengan hal apapun mengenai Ika, sang penghianat.Namun, Kak Doni kembali menimpali Dini dengan ejekannya, yang pada akhirnya membuat Dini postif berstatus ngambek dan lari menuju kamar dengan emosi tak keruan.
Belum lama ia mengurung diri di kamar, terdengar Ika yang memelas mohon izin untuk masuk ke kamar Dini. Namun, Dini tak bergeming. Hatinya makin empet  mendengar suara Ika hadir ditengah suasana hatinya yang buruk. Ia terus mengumpat, dan berharap agar seluruh keluarganya lekas pergi dan ia segera bisa berkumpul bersama geng kebanggaannya.
Suara takbir yang menggema dan saling bersautan memekakkan telinga Dini dan membuatnya lekas terjaga. Dengan rambut awut-awutan dan pajamas yang kusut, Dini keluar kamar sambil menguap selebar-lebarnya, seakan menandakan bahwa dia telah tidur sangat pulas dan melupakan apa yang terjadi kemarin. Dilihatnya sekeliling dengan prosentase nyawa 50%, sepi. Ya, hanya sepi. Ia terus berjalan, berjelajah rumahnya sambil menggenapkan prosentase kesadarannya. Nihil. Semua penjuru rumah sepi senyap. Hanya secarik kertas yang ia temukan di meja ruang tengah. Sebuah pesan terakhir dari Ibu sebelum semua pergi ke Semarang.
Dini celingukan setelah membaca surat dari Ibunya, sepersekian detik drastis airmukanya berubah sumringah. Ia merasa bebas dan yakin bahwa keputusannya kali ini sangat tepat. Diputarnya lagu “Ew’re all about” keras-keras, ia melonjak girang lepas kendali.
Waktu terus berlalu begitu saja bagi Dini. Ya, hari menjelang siang, tak satu pun teman Dini yang datang. Rambut Dini yang tadinya basah mulai kering. Baju muslimnya yang baru keluar dari lemari dengan rapih, kusut sudah. Hingga ia sampai pada titik jenuhnya, dan mulai menelepon temannya satu per satu.
Entah bagai terpeleset dan terperosok pada lubang yang digalinya, semua teman geng-nya berjamaah membatalkan sepihak janji pertemuan mereka hari ini. Dimulai dari alasan umum, acara keluarga yang tak bisa ditinggal, hingga alasan paling tak rasional, takut akan adanya hantu yang kabarnya mendiami rumah Dini dan menyebabkan pembantu lama Dini keluar dari rumah itu. Sontak Dini langsung naik darah dengan alasan yang sangat tak masuk akal itu. Dia lemas. Sesal menumpuk-numpuk sesakkan dadanya. Sekarang dia ingin pergi ke Semarang bersama keluarganya. Namun semua pupus. Mereka sudah sepuluh jam meninggalkan Jakarta. Nasi telah menjadi bubur. Nafasnya naik turun, sumpek pikirannya memikirkan nasib sialnya. Dipandangnya ketupat dan makanan di meja, semakin Dini meratapi kecerobohannya. Dia menangis. Histeris
Hari merambat sore. Pukul lima sudah. Dini masih terpakur di sofa dengan tatapan kosong. Dan kembali dia menangis. Namun, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari pintu belakang. Dia teringat akan cerita hantu dari temannya,Indah. Ditenangkannya hati dan pikirannya kini. Terbayang jika tiba-tiba ada orang jahat, maling, garong, dan sebangsanya bertamu tak diundang ke rumahnya. Airmukanya menegang. Dini meloncat dari sofa. Jantungnya berdetak terlalu kencang, hingga rasanya mau lepas dari otot. Pandangannya tertuju pada tongkat softball Kak doni yang menggantung di tembok yang tak jauh darinya. Segera diraihnya tongkat itu dan digenggamnya erat. Ia mengambil sikap waspada sambil melangkah perlahan menuju sumber suara.
Braaaak

Auuuu. Suara cempreng Ika mengakhiri prosesi pemukulan oleh Dini. Sontak Dini sigap pada kondisi Ika. Ia sangat merasa bersalah. Setengah sadar, Ika protes di antara rintihannya atas perlakuan Dini yang satu ini. Dini memelas memohon ampun atas kesalahannya itu. Pun Ika menjelaskan keberadaanya di rumah Dini, yang ingin melihat kegiatan mantan sahabatnya dengan gengnya. Pada akhirnya Dini teriris melihat Ika yang setengah berdaya kesakitan. Hatinya mencair. Dini menyesal. Dini mengaku salah pada Ika. Ia sudah egois dan kekanak-kanakan. Perlahan Ika sadar dan membuka matanya. Dini menghembuskan nafas keras-keras sebagai tanda ke-plongan hatinya. Semua damai. Semua hati terasa hangat. Semua terasa lebih hidup dan bewarna lagi kini, dengan sebuah kunci maaf. Dini yakin lebaran kali ini dia tidak sendiri




Sumber : KLKPD Bahasa Indonesia SMA X dengan banyak perubahan



.

Comments

Popular posts from this blog

Naskah Drama 7 orang >> "Aduh Ujang"

Demi Trisno (Naskah Drama)

Puisi, Pantun. Gurindam Lingkungan -8baris