"Apakah itu, Ayah??"
Dalam
suatu sore di bawah langit yang bersolek indah penuh jingga, duduk
sepasang hati yang setia tuk saling mengisi. Seorang Ayah yang penuh
wibawa bersama sang Anak tengah bercengkrama di antara keliling hijau
alam taman. Dalam hangat yang tlah tercipta, hinggap seekor burung
gagak pada sebuah pohon tak jauh dari tempat mereka duduk.
“Nak, lihatlah. Apa yang ada di pohon itu? Burung apa itu, Nak?”
tanya sang Ayah sambil menunjuk pohon di seberang.
“Itu burung gagak, Ayah”, jawab sang Anak.
Seakan
sang Ayah tak mengerti, beliau bertanya kembali pada sang Anak.
“Itu burung apa, Nak?”
“Itu burung gagak”, jawabnya singkat.
Untuk
selang waktu selanjutnya sang Ayah lagi-lagi bertanya pada sang Anak
dengan pertanyaan serupa. Sang Anak menarik napas panjang dan
menghembuskannya keras-keras.
“Itu burung gagak, Ayah”, sahutnya kesal.
Seakan
menguji batas sabar sang Anak, kembali Ayah melontarkan pertanyaan
yang sama seperti sebelumnya. Bagai terpancing geram, sang Anak
menjawab dengan nada tinggi.
Seketika
air muka Ayah berubah. Rasa kecewa merasuk dalam relung batinnya.
Hening terjadi kemudian.
Tak
berselang lama suara Ayah memecah segala hening yang ada.
“Burung apa itu, Nak?” tanya sang Ayah dengan suara parau.
Tenggelam
dalam api amarah yang kian penuh gejolak, sang Anak menatap jengkel
sang Ayah. Kali ini sabarnya habis pada titik didih amarahnya.
“Itu burung gagak, Ayah! ITU BURUNG GAGAK!! GA-GAK!! Tidakkah Ayah
mengerti akan apa yang telah Ananda katakana;/? Sudah lima kali Ayah.
Lima kali! Lima kali Ayah menayakan hal itu. Lima kali pula aku telah
memberikan jawaban yang sama. Tidakkah Ayah mengerti jua????!!!!!!!!”
bentak sang Anak panjang-lebar.
Hening
kembali tercipta. Tampak air muka sang Anak yang merah padam perlahan
berganti dengan hujaman sesal dalam dadanya. Sesak dirasakannya.
Seakan semua yang terjadi, terucap, terlontar begitu saja. Meledak,
terpancing rasa geram yang makin menjilat-jilat dalam golakkan api
amarahnya. Pun sang Ayah tertunduk lesu. Berharap kejadian yang baru
saja terjadi bukanlah suatu hal nyata yang permanen. Tak ingin sang
Anak membencinya. Tak secuilpun niat tuk menjadikannya tenggelam
dalam amarahnya.
Tak
berselang lama sang Ayah mengankat kepalanya dan menyeka bulir-bulir
bening yang mengenang di sudut matanya. Beliau merogoh saku celana
usangnya. Tampak sebuah lipatan kertas kecil yang tak lagi
tampakbaru. Seakan telah tersimpan dalam jangka waktu yang lama.
“Bacalah, Nak” , pinta sang Ayah dengan suara pecah, sembari
menyodorkan kertas yang terlipat rapih itu pada sang Anak.
Tanpa
mengangkat kepalanya, sang Anak meraih lipatan kertas kecil itu. Rasa
malu masih melekat erat pada dirinya.
… Hari
ini aku dan Anakku menghabiskan sore di taman kota tak jauh dari
rumah kami. Tempat ini merupakan tempat faovoritnya. Bagai tak bosan
ia memintaku untuk menemaninya menghabiskan sore di taman ini.
Kemudian, hinggaplah seekor burung gagk pada sebuah pancuran air tak
jauh dari tempat kami bercengkrama. Dengan antusias, Anakku bertanya
padaku.
“Itu
burung apa, Ayah?”
Ku
jawab pertanyaannya dengan semestinya. Bagai tak percaya atau mungkin
rasa ingin tahunya yang kian berkobar, kembali ia bertanya padaku
mngenai burung gagak itu. Terhitung 25 kali sudah ia menanyakan hal
yang sama padaku. Demi cinta kasihku padanya, ku beri ia jawaban yang
sama untuk setiap pertanyaannya yang serupa. Aku sungguh berharap,
kelak ini akan menjadi suatu ilmu yang berguna bagi dirinya dan
hidupnya ke depan.. , ,
Bulir-bulir
bening meluncur mulus dari sudut mata sang Anak. Sama sekali tak
teringat olehnya akan kejadian yang tertulis dalam catatan kecil sang
Ayah. Kejadian yang sangat beharga. Kejadian yang akan selalu menjadi
cermin bagi dirinya. Penyesalan pun sungguh tak terelakkan telah
merajam habis palung hatinya yang rapuh.
“Ayah baru bertanya padamu lima kali, Nak. Namun, mengapa kau sudah
kalah termakan amarah dan menumpahkannya padaku?”
* * * * *
Comments
Post a Comment