Tasya Nggak Suka Cinta



Hampir limabelas menit sudah, ku pijit tombol-tombol pada remote tv ini. Hampir limabelas menit pula, aku mulai muak dengan apa yang tersaji. Empet hati ini rasanya. Bebal dengan semua sandiwara super lebay yang dibual-bualkan. Membuai pemirsa dengan sajian cerita atau drama yang jelas-jelas hanya rekaan fiktif menjijikkan belaka. Apalagi kalau bukan sinema bertemakan cinta. Ya, cinta. C-I-N-T-A. akhhhhhh!!!!!....., menjijikkan!!!
Apa itu cinta? Mengapa semua orang seakan mendewakan hal yang satu itu? Tak sedikit pula yang rela mati-matian memperjuangkan hal yang namanya cinta. Mereka pikir, itu adalah sebuah aksi heroic? Cih!!!!!!! Hanya bualan yang mereka berikan. Sungguh Tuhan, aku benar-benar tak mengerti akan keputusan-Mu untuk menganugrahkan cinta di bumi ini?! Tunggu dulu……….. anugerah? Bukan!!! Cinta bukan anugerah, sama sekali bukan untuk selamanya. Cinta hanya musibah, nestapa, sengsara, dan penuh khianat. [!]
*****
“Tasya, tunggu!!!!!” Aku berbalik, kulihat sosok perempuan sebaya berlari tersengal menuju ke arahku. “Ada yang mau ngomong penting sama kamu tuh!!” ucapnya masih dengan nada menggos menggos.
“Siapa?”
“Liat aja ndiri. ada di kantin tuh. Kamu ditungggu” sahutnya menyebalkan.
Direbung rasa penasaran, ku putuskan untuk memenuhi undangan tak jelas itu. Tak jauh dari TKP dimana undangan itu berasal -kantin sekolah-, dapat ku lihat sosok laki-laki yang tak asing lagi tengah duduk cemas di bangku panjang seberang.
“Tama?” gumamku saat mengenali jelas sosok yang mengundangku itu. Lekas ku berbalik dan melangkah pergi segera. “Huft, mau apa lagi dia?! Dasar!!!” umpatku dalam batin.
“Sya, tunggu!!!” sebuah suara mengejarku. “Kamu mau kemana?” sosok Tama kini nongol tepat di hadapanku.
“Pulang” jawabku secukupnya, lantas lekas kembali meneruskan langkah untuk menjauh dari tempat ini.
“Tunggu…… aku mau ngomong!!!. Hei…….” Tama menggapai tanganku. “Kasih aku waktu untuk bicara….” ucapnya memelas.
Kulihat tatapan penuh ketulusan hadir di matanya. Sebuah ketulusan dari seorang laki-laki. Kaum yang sangat aku benci selama ini. Ya, aku benci semua laki-laki di dunia ini. “Apa? Cepet aku nggak punya banyak waktu!!!” ucapku melunak.
“Thanks, Sya. :] Sebenernya, aku cuma pengen tau alasan kamu ngejauhin  aku Sya—“  akunya, menjijikkan.
“Gitu doang? Please deh, Tam” potongku segera. Muak aku dengannya. Ku dorong tubuhnnya kasar, mengambil jalan untuk segera minggat dari hadapannya.
“Sya, tolong…!!! Kasih aku penjelasan. Apa ini karana aku bilang kalo aku ada perasaan ama kamu? Aku serius sama kamu Sya” ujar Tama setengah berteriak. Langkahku terhenti.“Aku nggak bisa, Tam. Nggak akan pernah bisa” jawabku masih sambil memunggungi Tama.
“Tapi kenapa, Sya?” suara Tama mulai menurun.
“Karna……karna….” Aku tercekat. Tak kuasa aku meneruskan kalimat yang akan ku ucap ini. Ku tarik napas panjang dan menghembuskannya keras-keras. “karna aku……. Aku benci sama semua laki-laki di dunia ini!!!! tanpa kecuali.” Tegasku. “Dan semua karna aku membenci ayahku,Tam” batinku. Tak bersela panjang, aku berlari meninggalkan Tama yang tak ku ketahui pasti raut wajah pada dirinya kini.
*****
Jarum detik pada jam dinding kamarku, seakan menjadi satu-satunya pelipur lara dalam sepinya malam kini. Pukul 23.00 sudah, namun aku belum bisa memejamkan mata sempurna. Bayangan besok akan telat masuk kelas pagi dan mendapat sanksi, seakan tak begitu berarti. Sumpek pikiranku tiada kunjung pergi, sekedar memberi aku kesempatan untuk tidur lelap malam ini. Bagai putaran film pada layar tv, kenangan pahit itu bermain dalam anganku. Kejadian malam itu. Tepat pada satu Juli hampir lima tahun lalu.
Sebuah kejadian yang mengubah hidupku. Mengubah hidup Ibuku. Mengubah hidup Adik-adikku. Dan mengubah segalanya. Sebuah pertengkaran hebat antara dua orang yang teramat aku sayang dan ku hormati. Antara Ayah dan Ibuku. Berujung pada peristiwa “pembuangan diri”. Aku, Ibu, dan Adik-adikku, dilemparkan begitu saja ke pulau seberang. Bagai sesuatu tak berharga, Ayah melakukannya tanpa dosa, tanpa bersalah. Dan kini, di sini, detik ini, dapat kulihat sosoknya dengan kedua mata kepalaku sendiri satu atap kembali denganku. Dengan embel-embel “mudik” yang dibuatnya, ia datang pada kami untuk sementara. Sekedar melihat, apakah “sampah-sampah” yang dibuangnya bertahun-tahun lalu telah membusuk atau belum.
Ku lemparkan kedua kakiku menuruni ranjang dan berjalan keluar kamar. Segera menuju dapur, sekedar minum 3 atau 4 gelas air bening, berharap dapat membantu mengurangi beban dalam otakku ini. Ku lemparkan pandangan pada sebuah kamar yang terletak tak jauh dari dapur berada, kamar Ayah dan Ibu. Atau lebih tepatnya, kamar Ayahku. Seakan tersugesti bawah sadar, ku langkahkan kaki mendekati pintu kamar Ayah. Ku raih daun pintu itu dan ‘ceklekkkkkk’ ku buka pintu itu perlahan dan ku condongkan sedikit kepalaku ke dalam. Samar-samar, tertangkap sosok Ayah yang pulas tertidur dengan pelukan gulingnya.
Aku menatap sosok yang tak lagi muda itu nanar.penuh kebencian pun penuh kerinduan “Aku membencimu, Yah” bisikku pahit. Satu tetes bulir bening meluncur mulus di pipiku. Ku tarik kepalaku keluar dari celah pintu kamar Ayah. Segera ku berlari, menjauh dari kamar Ayah. Berlari atas kekhilafanku yang telah sia-sia menangisi orang yang belum tentu benar-benar peduli padaku. Berlari, ingin membawa turut serta rasa benci, kecewa, marah, dendam, dan secuil cinta yang makin rapuh buat Ayah. Dan air mata ini tiada jua lekas berhenti.
*****
“Apa lebih baik kita cerai?????????” kalimat itu terekam sempurna dalam memori ingatanku. Terhapal olehku dengan sendirinya, tanpa harus susah payah menghapalkannya. Bukan untuk yang pertama kalinya, kata CERAI itu bermain dalam adu mulut antara Ayah dan Ibu. Beberapa malam lalu, kata magis itu kembali ambil andil dalam pertengkaran Ayah dan Ibu. Bermula dari ditemukannya foto seorang wanita yang tak lagi muda-dan tentunya bukan Ibuku- dalam dompet Ayah., kembali pertengkaran dalam sunyi terjadi. Ya, tidak seperti sinetron-sinetron yang ada di televisi, bilamana ada pertengkaran pasti akan identik dengan saling teriak, mengumbar amarah bahkan hingga kekerasan. Ayah dan Ibu bertengkar dalam senyap. Hanya suara yang setengah berbisik namun pahit yang terucap di antara pertengkaran mereka. Mereka pikir anak-anak mereka tak akan mendengar pertengkaran mereka, sehingga akan aman saja rasanya jikalau mereka bertengkar setiap harinya. Tak sadarkah mereka, bahwa semua anak mereka tiadalah masih kenak-kanak? Aku bukan bayi!!!! Yang bodoh dan kembali terlelap setelah terbangun oleh suara yang berbisik dan isakan tangis hampir di setiap malam. Lantas, tidak pedulikah mereka atas perasaanku? Kembali satu tetes airmata muncul dari pelupuk mataku. Seakan tetesan itu jatuh menusuk dalam, merajam luka batin yang makin lebar. Aku sudah tak punya kuasa untuk menahan tangisku ini. Namun aku harus kuat. Aku bukan orang lemah. Aku harus bisa buktikan, bahwa Ayah telah salah melakukan ini pada kami. Akan aku buktikan, bahwa aku bisa membuat Ibu bahagia. Aku pasti bisa. Pasti bisa !!!!!
Ku hapus segera airmata dan ku tarik napas sedalam-dalamnya. “Aku orang yang kuat !!!” hiburku pada diriku yang kacau pada saat ini.
“Sya…!!!!” suara Tikah yang cempreng tiba-tiba mampir ke telingaku.
“Hmmmm… apa?”
“Ngapain? Habis nangis yah????”
“Nggak. Sok tau !!
*****

“Sya tunggu !!” lagi-lagi suara itu. Bosan aku harus benar-benar hapal dengan suara bocah laki-laki ini. “Buat kamu” tukas Tama cepat sesaat setelah aku berbalik badan. Disodorkannya sebuah kotak bersampul ungu dengan pita biru diatasnya. Lekas ia berlari tanpa mengucap sepata kata.
****
Entah hati ini merasakan suatu getaran berbeda saat bersama bocah laki-laki itu. Aku mengalah. Ya, aku terus mengalah pada rasa simpatiku padanya. Pun amarahku yang biasanya membakar dan meledak-ledak perlahan turut tunduk pada rasa simpatiku yang kian mengembang. Tuhan perasaan apa ini??
Tidak ! Tidak boleh! Ini salah. Semua ini salah !! Aku harus setia pada komotmen awalku. Aku tak pernah mengenal cinta. Selamanya tak akan !! tapi……. Sunggh hatiiku tak ingin khianat.
“Gimana Sya?” tanya Tikah setelah aku membaca tak separuh dari cerpen yang dibuatnya.
“Kok cengeng banget? emang harus selalu ada unsure lope lopenya y??”
“Jelek ya cerpenku?’ tanyanya dengan nada melemas
“Au ah !!” Tikah langsung me-monyongkan bibirnya. “Oke… bagus atau nggaknya tergantung ending sayang” lanjutku pada Tikah
“O ya?” ucapnya sambil memiringkan kepalanya 27° “Emmm, endingnya bakal hepi kok Sya. Akhirnya si cewe mulai membuka hatinya untuk cowo. Dia berusaha untuk nggak ingkar sama hatinya” ujar Tikah sambil nyengar-nyegir tak keruan.
****
Makin larut. Aku masih belum sanggup memjamkan mata sempurna. Cerpen Tikah tadi masih sedikit menghantui otakku. Ditambah dengan ending yang benar-benar  disgust menurutku, membuahkan seribu tanda tanya. Lagipula kenapa si cewe akhirnya membuka hati buat tu cowo ya???kenapa?? kenapa ?? dan kenapa????? Ku buka laptop dan segera link menuju facebook.com Berharap bias sedikit melupakan tentang Tikah dan ide gila di cerpennya itu.
Shit !!! pemberitauan hari ini makin buat aku muak!!! Ditambah dengan status dari temen-temen yang galau hamper gila !!!! cih!!! Kembali aku terbayang akan kedua orangtuaku. Pertengkaran di antara mereka. Kejadian pisah rumah. Dan………..akkkhhhhh ini benar-benar memaksaku untuk merasa malas hidup lama!!!! Ku tutup laptop tanpa menutup aplikas ataupun men-shutdownnya. Sebentar lagi aku akan benar-benar gila. Sepertinya
Kamarku kembali hening. Makin gelap dan dingin yang aku rasa kini. Hanya lampu tidur dari neon, yang bersinar dengan sinar kuning mentup-mentup. Ku lirik kotak ungu dari Tama yang sama sekali belum terjamah. Bungkusnya masih sanagt rapih dan berdebu. Hamper seminggu kotak itu tersimpan di bawah meja belajarku. Semakin lama aku menatap kotak itu, semakin dalam pula rasaku untuk dapat membuka kotak itu. Perang sedang berkecamuk dalam hatiku, dan……….. I open it!!
To : Tasya
Sya, sebelumnya maaf karna selama ini aku udah ganggu hidup kamu. Mungki saat kamu buka surat ini ada 2 pilihan yang ada dalam pikiranmu. Kamu akan buang dan sobek-sobek surat ini atau dengan sisi terbaik dari kamu, kamu akan lanjut baca surat yang bisa jadi ucapan terkhir dari aku.
Nggak banyak yang mau aku sampein Sya. Aku Cuma mau bilang terimakasih, karena kamu uda hadir dalam hidup aku. Makasih, karna kamu uda bersedia ndengerin aku. Makasih, kamu udah ngasih aku sebuah perasaan yang memang itu tulus buat kamu Sya.
Maaf. Karna aku udah ganggu hidup kamu dengan perasaan aku ini. Aku nggak ada sedikit pun niat untuk ganggu kamu Sya. Sungguh Sya. Kamu hal berbeda. Hal terindah yang pernah aku temui. Maksi Sya.
Dan aku mau pamit, karna Sabtu depan aku udah nggak di kota ini. Makasi buat semuanya Sya.

Aku tercekat. Setetes air mata meluncur dari pelupuk mata. Dadaku sesak. Hatiku terasa ngilu. Kenapa aku ini? Untuk apa pula aku menangis untuk seorang bocah laki-laki? Tapi Tuhan………… mengapa aku makin terisak tatkala aku berusaha untuk memikirkan semua kan baik. Makin keras. Kenapa airmata ini makin deras? Aku kenapa?
Jatuh sebuah liontin dari kotak ungu itu. Terukir huruf T di tengah liontin itu. Ku pungut ia. Dan tanganku menggenggamnya erat. Oh Tuhan……………. Aku tak bias terus berdusta.
Ku lihat ke hape ku dan ku cek, tanggal berapa hari ini. Tidak!! Hari ini tepat seminggu setelah Tama menulis surat itu. Hari ini pula hari terakhir Tama ada di kota ini. Oh Tuhan apa yang sudah kulakukan??????

Comments

  1. syah ,,,
    ojo galau terus....:)

    ReplyDelete
  2. wadoooh,... sapa iki seng ngasih nasehat?????
    aisyah selalu mencoba happy kok :))

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Naskah Drama 7 orang >> "Aduh Ujang"

Demi Trisno (Naskah Drama)

Puisi, Pantun. Gurindam Lingkungan -8baris