Tasya Nggak Suka Cinta
Apa itu cinta? Mengapa semua orang
seakan mendewakan hal yang satu itu? Tak sedikit pula yang rela mati-matian
memperjuangkan hal yang namanya cinta. Mereka pikir, itu adalah sebuah aksi
heroic? Cih!!!!!!! Hanya bualan yang mereka berikan. Sungguh Tuhan, aku
benar-benar tak mengerti akan keputusan-Mu untuk menganugrahkan cinta di bumi
ini?! Tunggu dulu……….. anugerah? Bukan!!! Cinta bukan anugerah, sama sekali bukan
untuk selamanya. Cinta hanya musibah, nestapa, sengsara, dan penuh khianat. [!]
*****
“Tasya, tunggu!!!!!” Aku berbalik,
kulihat sosok perempuan sebaya berlari tersengal menuju ke arahku. “Ada yang
mau ngomong penting sama kamu tuh!!” ucapnya masih dengan nada menggos menggos.
“Siapa?”
“Liat aja ndiri. ada di kantin tuh.
Kamu ditungggu” sahutnya menyebalkan.
Direbung rasa penasaran, ku putuskan
untuk memenuhi undangan tak jelas itu. Tak jauh dari TKP dimana undangan itu
berasal -kantin sekolah-, dapat ku lihat sosok laki-laki yang tak asing lagi
tengah duduk cemas di bangku panjang seberang.
“Tama?” gumamku saat mengenali jelas
sosok yang mengundangku itu. Lekas ku berbalik dan melangkah pergi segera.
“Huft, mau apa lagi dia?! Dasar!!!” umpatku dalam batin.
“Sya, tunggu!!!” sebuah suara
mengejarku. “Kamu mau kemana?” sosok Tama kini nongol tepat di hadapanku.
“Pulang” jawabku secukupnya, lantas
lekas kembali meneruskan langkah untuk menjauh dari tempat ini.
“Tunggu…… aku mau ngomong!!!. Hei…….” Tama
menggapai tanganku. “Kasih aku waktu untuk bicara….” ucapnya memelas.
Kulihat tatapan penuh ketulusan hadir
di matanya. Sebuah ketulusan dari seorang laki-laki. Kaum yang sangat aku benci
selama ini. Ya, aku benci semua laki-laki di dunia ini. “Apa? Cepet aku nggak
punya banyak waktu!!!” ucapku melunak.
“Thanks, Sya. :] Sebenernya, aku cuma
pengen tau alasan kamu ngejauhin aku Sya—“
akunya, menjijikkan.
“Gitu doang? Please deh, Tam” potongku
segera. Muak aku dengannya. Ku dorong tubuhnnya kasar, mengambil jalan untuk
segera minggat dari hadapannya.
“Sya, tolong…!!! Kasih aku penjelasan. Apa
ini karana aku bilang kalo aku ada perasaan ama kamu? Aku serius sama kamu Sya”
ujar Tama setengah berteriak. Langkahku terhenti.“Aku nggak bisa, Tam. Nggak
akan pernah bisa” jawabku masih sambil memunggungi Tama.
“Tapi kenapa, Sya?” suara Tama mulai
menurun.
“Karna……karna….” Aku tercekat. Tak
kuasa aku meneruskan kalimat yang akan ku ucap ini. Ku tarik napas panjang dan
menghembuskannya keras-keras. “karna aku……. Aku benci sama semua laki-laki di
dunia ini!!!! tanpa kecuali.” Tegasku. “Dan semua karna aku membenci
ayahku,Tam” batinku. Tak bersela panjang, aku berlari meninggalkan Tama yang
tak ku ketahui pasti raut wajah pada dirinya kini.
*****
Jarum detik pada jam dinding kamarku,
seakan menjadi satu-satunya pelipur lara dalam sepinya malam kini. Pukul 23.00
sudah, namun aku belum bisa memejamkan mata sempurna. Bayangan besok akan telat
masuk kelas pagi dan mendapat sanksi, seakan tak begitu berarti. Sumpek pikiranku
tiada kunjung pergi, sekedar memberi aku kesempatan untuk tidur lelap malam
ini. Bagai putaran film pada layar tv, kenangan pahit itu bermain dalam
anganku. Kejadian malam itu. Tepat pada satu Juli hampir lima tahun lalu.
Sebuah kejadian yang mengubah hidupku.
Mengubah hidup Ibuku. Mengubah hidup Adik-adikku. Dan mengubah segalanya.
Sebuah pertengkaran hebat antara dua orang yang teramat aku sayang dan ku
hormati. Antara Ayah dan Ibuku. Berujung pada peristiwa “pembuangan diri”. Aku,
Ibu, dan Adik-adikku, dilemparkan begitu saja ke pulau seberang. Bagai sesuatu
tak berharga, Ayah melakukannya tanpa dosa, tanpa bersalah. Dan kini, di sini,
detik ini, dapat kulihat sosoknya dengan kedua mata kepalaku sendiri satu atap
kembali denganku. Dengan embel-embel “mudik” yang dibuatnya, ia datang pada
kami untuk sementara. Sekedar melihat, apakah “sampah-sampah” yang dibuangnya
bertahun-tahun lalu telah membusuk atau belum.
Ku lemparkan kedua kakiku menuruni
ranjang dan berjalan keluar kamar. Segera menuju dapur, sekedar minum 3 atau 4
gelas air bening, berharap dapat membantu mengurangi beban dalam otakku ini. Ku
lemparkan pandangan pada sebuah kamar yang terletak tak jauh dari dapur berada,
kamar Ayah dan Ibu. Atau lebih tepatnya, kamar Ayahku. Seakan tersugesti bawah
sadar, ku langkahkan kaki mendekati pintu kamar Ayah. Ku raih daun pintu itu
dan ‘ceklekkkkkk’ ku buka pintu itu perlahan dan ku condongkan sedikit kepalaku
ke dalam. Samar-samar, tertangkap sosok Ayah yang pulas tertidur dengan pelukan
gulingnya.
Aku menatap sosok yang tak lagi muda
itu nanar.penuh kebencian pun penuh kerinduan “Aku membencimu, Yah” bisikku
pahit. Satu tetes bulir bening meluncur mulus di pipiku. Ku tarik kepalaku
keluar dari celah pintu kamar Ayah. Segera ku berlari, menjauh dari kamar Ayah.
Berlari atas kekhilafanku yang telah sia-sia menangisi orang yang belum tentu
benar-benar peduli padaku. Berlari, ingin membawa turut serta rasa benci,
kecewa, marah, dendam, dan secuil cinta yang makin rapuh buat Ayah. Dan air
mata ini tiada jua lekas berhenti.
*****
“Apa lebih baik kita cerai?????????”
kalimat itu terekam sempurna dalam memori ingatanku. Terhapal olehku dengan
sendirinya, tanpa harus susah payah menghapalkannya. Bukan untuk yang pertama
kalinya, kata CERAI itu bermain dalam adu mulut antara Ayah dan Ibu. Beberapa
malam lalu, kata magis itu kembali ambil andil dalam pertengkaran Ayah dan Ibu.
Bermula dari ditemukannya foto seorang wanita yang tak lagi muda-dan tentunya
bukan Ibuku- dalam dompet Ayah., kembali pertengkaran dalam sunyi terjadi. Ya,
tidak seperti sinetron-sinetron yang ada di televisi, bilamana ada pertengkaran
pasti akan identik dengan saling teriak, mengumbar amarah bahkan hingga
kekerasan. Ayah dan Ibu bertengkar dalam senyap. Hanya suara yang setengah
berbisik namun pahit yang terucap di antara pertengkaran mereka. Mereka pikir
anak-anak mereka tak akan mendengar pertengkaran mereka, sehingga akan aman
saja rasanya jikalau mereka bertengkar setiap harinya. Tak sadarkah mereka,
bahwa semua anak mereka tiadalah masih kenak-kanak? Aku bukan bayi!!!! Yang
bodoh dan kembali terlelap setelah terbangun oleh suara yang berbisik dan
isakan tangis hampir di setiap malam. Lantas, tidak pedulikah mereka atas
perasaanku? Kembali satu tetes airmata muncul dari pelupuk mataku. Seakan
tetesan itu jatuh menusuk dalam, merajam luka batin yang makin lebar. Aku sudah
tak punya kuasa untuk menahan tangisku ini. Namun aku harus kuat. Aku bukan
orang lemah. Aku harus bisa buktikan, bahwa Ayah telah salah melakukan ini pada
kami. Akan aku buktikan, bahwa aku bisa membuat Ibu bahagia. Aku pasti bisa.
Pasti bisa !!!!!
Ku hapus segera airmata dan ku tarik
napas sedalam-dalamnya. “Aku orang yang kuat !!!” hiburku pada diriku yang
kacau pada saat ini.
“Sya…!!!!” suara Tikah yang cempreng
tiba-tiba mampir ke telingaku.
“Hmmmm… apa?”
“Ngapain? Habis nangis yah????”
“Nggak. Sok tau !!
*****
“Sya tunggu !!” lagi-lagi suara itu.
Bosan aku harus benar-benar hapal dengan suara bocah laki-laki ini. “Buat kamu”
tukas Tama cepat sesaat setelah aku berbalik badan. Disodorkannya sebuah kotak
bersampul ungu dengan pita biru diatasnya. Lekas ia berlari tanpa mengucap sepata
kata.
****
Entah
hati ini merasakan suatu getaran berbeda saat bersama bocah laki-laki itu. Aku
mengalah. Ya, aku terus mengalah pada rasa simpatiku padanya. Pun amarahku yang
biasanya membakar dan meledak-ledak perlahan turut tunduk pada rasa simpatiku
yang kian mengembang. Tuhan perasaan apa ini??
Tidak
! Tidak boleh! Ini salah. Semua ini salah !! Aku harus setia pada komotmen
awalku. Aku tak pernah mengenal cinta. Selamanya tak akan !! tapi……. Sunggh
hatiiku tak ingin khianat.
“Gimana Sya?” tanya Tikah
setelah aku membaca tak separuh dari cerpen yang dibuatnya.
“Kok cengeng banget?
emang harus selalu ada unsure lope lopenya y??”
“Jelek ya cerpenku?’
tanyanya dengan nada melemas
“Au ah !!” Tikah langsung
me-monyongkan bibirnya. “Oke… bagus atau nggaknya tergantung ending sayang”
lanjutku pada Tikah
“O ya?” ucapnya sambil
memiringkan kepalanya 27° “Emmm, endingnya bakal hepi kok Sya. Akhirnya si cewe
mulai membuka hatinya untuk cowo. Dia berusaha untuk nggak ingkar sama hatinya”
ujar Tikah sambil nyengar-nyegir tak keruan.
****
Makin larut. Aku masih
belum sanggup memjamkan mata sempurna. Cerpen Tikah tadi masih sedikit
menghantui otakku. Ditambah dengan ending yang benar-benar disgust menurutku, membuahkan seribu tanda
tanya. Lagipula kenapa si cewe akhirnya membuka hati buat tu cowo ya???kenapa??
kenapa ?? dan kenapa????? Ku buka laptop dan segera link menuju facebook.com
Berharap bias sedikit melupakan tentang Tikah dan ide gila di cerpennya itu.
Shit !!! pemberitauan
hari ini makin buat aku muak!!! Ditambah dengan status dari temen-temen yang
galau hamper gila !!!! cih!!! Kembali aku terbayang akan kedua orangtuaku.
Pertengkaran di antara mereka. Kejadian pisah rumah. Dan………..akkkhhhhh ini
benar-benar memaksaku untuk merasa malas hidup lama!!!! Ku tutup laptop tanpa
menutup aplikas ataupun men-shutdownnya. Sebentar lagi aku akan benar-benar
gila. Sepertinya
Kamarku kembali hening.
Makin gelap dan dingin yang aku rasa kini. Hanya lampu tidur dari neon, yang
bersinar dengan sinar kuning mentup-mentup. Ku lirik kotak ungu dari Tama yang
sama sekali belum terjamah. Bungkusnya masih sanagt rapih dan berdebu. Hamper
seminggu kotak itu tersimpan di bawah meja belajarku. Semakin lama aku menatap
kotak itu, semakin dalam pula rasaku untuk dapat membuka kotak itu. Perang
sedang berkecamuk dalam hatiku, dan……….. I open it!!
To
: Tasya
Sya,
sebelumnya maaf karna selama ini aku udah ganggu hidup kamu. Mungki saat kamu
buka surat ini ada 2 pilihan yang ada dalam pikiranmu. Kamu akan buang dan
sobek-sobek surat ini atau dengan sisi terbaik dari kamu, kamu akan lanjut baca
surat yang bisa jadi ucapan terkhir dari aku.
Nggak
banyak yang mau aku sampein Sya. Aku Cuma mau bilang terimakasih, karena kamu
uda hadir dalam hidup aku. Makasih, karna kamu uda bersedia ndengerin aku.
Makasih, kamu udah ngasih aku sebuah perasaan yang memang itu tulus buat kamu
Sya.
Maaf.
Karna aku udah ganggu hidup kamu dengan perasaan aku ini. Aku nggak ada sedikit
pun niat untuk ganggu kamu Sya. Sungguh Sya. Kamu hal berbeda. Hal terindah
yang pernah aku temui. Maksi Sya.
Dan
aku mau pamit, karna Sabtu depan aku udah nggak di kota ini. Makasi buat
semuanya Sya.
Aku tercekat. Setetes air mata meluncur
dari pelupuk mata. Dadaku sesak. Hatiku terasa ngilu. Kenapa aku ini? Untuk apa
pula aku menangis untuk seorang bocah laki-laki? Tapi Tuhan………… mengapa aku
makin terisak tatkala aku berusaha untuk memikirkan semua kan baik. Makin
keras. Kenapa airmata ini makin deras? Aku kenapa?
Jatuh sebuah liontin dari kotak ungu
itu. Terukir huruf T di tengah liontin itu. Ku pungut ia. Dan tanganku
menggenggamnya erat. Oh Tuhan……………. Aku tak bias terus berdusta.
Ku lihat ke hape ku dan ku cek, tanggal
berapa hari ini. Tidak!! Hari ini tepat seminggu setelah Tama menulis surat
itu. Hari ini pula hari terakhir Tama ada di kota ini. Oh Tuhan apa yang sudah
kulakukan??????
syah ,,,
ReplyDeleteojo galau terus....:)
wadoooh,... sapa iki seng ngasih nasehat?????
ReplyDeleteaisyah selalu mencoba happy kok :))