Symponi Lara Melodi #part 1
‘Ting..tong….ting ting…teng……….’ #suara piano
ceritanya.
Semilir angin lembut membelai sosok seorang
gadis yang tengah lelap dalam dekapan malam. Bersama sang angin pula, alunan
melodi penuh makna terbawa pergi…..samar-samar melodi-melodi indah itu turut
berbaur dalam malam penuh rindu Gitta, sang gadis. Dibawah naungan sinar bulan yang keperakan,
disimpannya segenap rindu yang terlanjur meradang. Kerinduan yang seakan terasa
perihnya tatkala lantunan harmoni indah itu hadir di sekelilingnya. Luka rindu
itu makin lebar. Makin menganga. Makin perih, makin pula terasa. Hampir di
setiap harinya, ia selalu mendengar alunan2 musik itu. Lantunan nada dari toots
piano. Yang slalu membangkitkan ingatannya akan adik lelaikinya, Melodi. Dan di
kota mimpi ini lah, ia coba redam sgala rindunya. Di kota Paris penuh cinta penuh
cita.
******
Masih pukul 2 pagi. Lagi-lagi aku terbangun
dari lelapku. Suara-suara itu kian menyiksaku, sesakkan dadaku. Hampir hilang
kewarasanku karena music itu. Alunan toots2 piano itu!!!! Ku lemparkan
pandangan ke kalender kecil di meja
sebrang. Terhitung tujuh hari lagi. Ya, seminggu ke depan merupakan hari
berakhirnya studiku di negeri impian ini. Aku akan menamatkan pendidikanku
selama lima tahun di kota Paris ini. Setelah itu, semua rinduku kan terbayar.
Terbayangkan akan rencana kepulanganku untuk langsung terbang ke Indonesia
setelah upacara kelulusan selesai. Ayah, Ibu, Odi…… tunggu aku……
Tujuh hari berlalu. . . . . .
Kan ku raih buah ranumku yang telah tertanam
selama 5 tahun di kota Paris ini. Berusaha yakin dan percaya, bahwa aku tak
akan kecewakan kedua orang tuaku. All what I get today, is present only for you
Mom, Dad………..
"Félicitation,
Gitta! Vous avez fait le meilleur!"
"Ouais,
je vous remercie!
"Quel
est votre plan, Gitta?
«Reviens
vite, Lissa"
"Aïe,
il est entendu trop tôt!"
"Sans doute! Je Suis sûr que"
“Bon
bonne chance!"......
**artinye:
"Congratulation,
Gitta, you've
made the best!"
"Yes, thank you!
"What is your plan , Gitta?
"Come back soon, Lissa"
"Ow, it’s hear too early!"
"No dobt! I am sure"
"okay. Good luck!" ......
"Yes, thank you!
"What is your plan , Gitta?
"Come back soon, Lissa"
"Ow, it’s hear too early!"
"No dobt! I am sure"
"okay. Good luck!" ......
******
Pesawat lepas landas sudah. Aku kembali
mengudara. Menikmati sajian padang kapas putih yang menggantung pada birunya
langit. Untaian kapas putih itu seakan
tengah menari-nari bersenandung penuh suka cita atas kepulanganku ke tanah air.
Tampak pula beberapa burung yang berkejaran riang penuh canda. Mengingatkanku
akan saat2 bahagia bersama Odi, adikku. Tak kalah, beberapa penumpang yang satu
pesawat denganku, turut bersenandung ria, bercanda gurau, menunujukkan
kebahagiaannya yang akan segera melepas rindu untuk dapat kembali ke tanah air.
“APA KABAR INDONESIA???!!!”
Teriakku lantang begitu kedua kaki telah
berpijak di tanah pertiwi. Rampung membereskan semua barang2 dan keperluanku,
bergegas aku menuku ke pintu keluar utama untuk mendapatkan taksi segera.
Memang aku belum mengabarkan ayah perihal ini, berusaha membuat sebuah kejutan
kecil istimewa.
“Jalan Permata HIjau 56 ya, Pak”
******
Permata Hijau 56
Papan nama itu terpampang jelas di samping
gerbang sebuah bangunan penuh sejarah. Sebuah tempat yang selama 5 tahun ini,
slalu ingin ku kunjungi. Rumahku,….
Tak membuang waktu, bergegas ku menuju pintu
utama dan masuk ke dalam dengan kunci cadangan yang ku simpan. Perlahan ku
tapakkan kakiku pada lantai marmer yang bersolek indah dengan tiang-tiang beton
yang gagah. Tergantung berbingkai-bingkai foto keluarga kami sepanjang jalan
menuju ruang tengah. Tak lama setelahnya, ku dapati sosok lelaki paruh baya
berjas hitam rapih tengah terpaku menatap salah satu foto keluarga kami yang
tersenyum bahagia di depan kamera.
“Assalamu’alaikum, Ayah…” sapaku pelan.
Beliau tampak tersentak kaget. Lamunannya
buyar tatkala suaraku mampir pada gendang telinganya. “Aah,… Brigitta” sahutnya
setelah mampu mengumpulkan segenap sadarnya.
“Iya Ayah…” aku berlari menghampiri beliau
yang masih terpaku dengan senyuman dan titik airmata pada sudut matanya.
Kami berpelukan. Melepas rindu yang kian
terpendam dan mendalam. Airmata haru tak terellakan mengalir dari kedua
pelulupk mata kami. “Ayah, belum menjawab salamku tadi. Assalamu’alaikum :]”
“Iya iya,.. Wa’alaikumsalam :]” ujar beliau
sambil mengusap kepalaku dan mengobrak-abrik rambutku. “Dimana, Melodi? Sedang
les piani kah dia, Ayah?”
Ayah mengangguk. “belum waktunya untuk les. Jemputlah
dia di sekolah, pasti dia sangat senang jika tahu kakaknya telah kembali” saran
ayah. “Kau masih ingat sekolahnya berada bukan?”
“Tentu, Ayah. Jangan remehkan daya ingat
putrimu ini :D”
*****
Tak jauh aku melangkah dari rumah, ku lihat
bis sekolah Odi di kejauhan. Samar-samar turunlah seorang anak laki-laki berusia 15 tahun. Tinggi, putih, dan tampak
linglung. Dia berjalan takut menjauh dari bis sekolah yang membawanya. Merasa
tak asing, ku hampiri dia. Belum dekat dengannya, niatku terurung. Aku
memutuskan untuk mengikutinya saja. Bagai seorang pengintai, ku buntuti dia
pelan-pelan.
Pada sebuah persimpangan, dia berhenti
sejenak. Seakan berusaha mengingat jalan pulang yang harus ditempuhnya.
Telunjuknya menunjuk 3 persimpangan di hadapannya, mulutnya komat-kamit tak keruan.
Setelah sepersekian detik, diputuskannya untuk memilih tikungan ke kanan. “Apa
dia benar-benar lupa jalan pulang?” batinku yang masih membuntuti dan mengamati
bocah lelaki itu.
Tak jauh dari persimpangan itu, langkahnya
kembali terhenti. Di depan sebuah rumah bercat putih, berpintu putih, lantai
dan tirai jendela pun bewarna putih. Senyum mengembang di bibir bocah itu,
seakan berarti bahwa dia telah menemukan sesuatu yang dicarinya.
“Odi,…” aku buka suara otomatis menghentikan
langkahnya untuk memasuki rumah putih-putih itu. Dia menoleh. “Masih ingat
aku?” Dia tersenyum. “Kau mau kemana?”
“Pinano….” Ucapnya sambil menunjuk ke dalam
rumah itu.
“Piano?” Dia mengngguk dan lekas menarikku
masuk.
--di dalam rumah itu—
. . . . .
“Jadi, selama ini Odi les piano di tempat
ini?” tanyaku pada seorang wanita paruh baya pemilik rumah, yang sedari tadi
bercerita panjang lebar tentang Odi.
“Benar. Hampir lebih dari 2 tahun lalu. Saya
masih mengingat, pertama kali dia datang kemari” ia berhenti sejenak sambil
tersenyum sendiri. “Dia tiba-tiba mengetuk pintu saya dan berkata ‘pinano
pinano!!”
“Maafkan atas kebingungan yang dibuat adik
saya, Bu”
“Tak apa, saya mengerti kondisi Odi. Walau
begitu, dia punya bakat luar biasa”
“Saya tahu itu, Bu :]” sahutku bangga sembari
memandangi Odi yang asik bermain dengan toots2 piano. Aku bangkit dan
mendekatinya. “Kau memang berbakat, Tuan!!” ucapku sambil mengelus rambut
hitamnya. Dia hanya tersenyum memandangku. “Lagu ciptaanmu kah ini?”
Dia mengangguk bangga. “Apa judulnya?’
“Rindu Kakak” jawabnya bangga.
“Rupanya kau sekarang bisa merindukan aku yaa???”
godaku padanya sambil meraihnya dan memluknya erat. Adikku, aku sangat
mencintaimu.
****
Kami tak langsung pulang ke rumah. Kami berdua
memutuskan untuk pergi ke pemakaman Ibu. Beliau pergi saat Odi lahir, meski
demikian aku yakin bahwa Odi amat mencintai Ibu kandung kami ini. Ku letakkan
tape recorder di sebelah makam Ibu. Ku pinta Odi untuk menekan tombol play.
Terdengar melodi piano karya Odi yang beberapa menit lalu ditunjukannya padaku.
“Ibu, Odi kita makin pandai berpiano. Dia
menciptakan sebuah lagu buatku, Bu. Judulnya apa Odi?”
“Rindu Kakak”
“LIhat Bu, dia sudah merasakan rindu rupanya.
Apakah dia sudah besar, Bu?” Odi menatapku yang terpaku menghadap pusara Ibu.
Dia letakkan ibu jarinya di pipiku, mengusap air mata yang mengalir sedari
tadi. “Kakakmu sangat cengeng bukan?” tanyaku pada Odi yang menatapku dalam.
“Mari kita berdoa buat Ibu. Semoga beliau dilapangkan kuburnya”
“Doa? Ibu?” tanyanya.
“Benar sayang” aku mengangguk. “membuatnya
bahagia di sana”
“Bahagia?” dia mengangguk riang, pertanda
setuju. “Aku ingin Ibu mendapat bahagia” ucapnya lantang penuh ikhlas.
“Mari baca Al-Fatihah bersama” Odi mengangguk.
*****
“Assalamu’alaikum,.. kami pulang!!”
Seorang wanita bersolek glamour keluar dari
ruang tengah. Dengan model rambut tertata rapi dan make up yang luar biasa, ia
tampak 5 tahun lebih muda dari usianya.
“Ma-ma” ucap Odi girang terbata. Ia hanya
tersenyum kecut. “Kau sudah pulang, Gitta?” ucapnya dengan senyum mengganjal
tanpa memperdulikan Odi.
“Iya, Ma!” sahutku sambil berjalan memeluknya.
“Aku tadi langsung menjemput Odi di tempat les pianonya”
“Oh, ya. Baiklah” ujarnya tak peduli.
“Sepertinya Odi juga ingin mendapat pelukanmu, Ma” ujarku setelah memerhatikan
Odi yang masih tersenyum polos penuh harap sambil merentangkan tangannya
ragu-ragu.
Odi mengangguk senang, bahasa tubuhnya terbaca
olehku. “Oh, maaf sayang. Tapi Mama harus pergi sekarang. Sampai nanti” ucapnya
beralasan sambil melangkah pergi.
Senyum Odi hilang, karena penolakan dari sosok
yang dianggapnya Mama. Mama satu-satunya. “Ma,… tunggu” sergapku. “Apa kau tahu
kalau Odi berlatih piano di tempat lain yang lebih kecil?”
Beliau berbalik. “Kita bicarakan nanti saja.
Aku tak punya waktu untuk itu” kembali ia berbalik, meneruskan langkahnya
menuju pintu utama rumah untuk lekas pergi. Kembali aku terfokus pada Odi.
“Mama sangat menyayangimu. Mama sangat mencintaimu. Mama sedang terburu waktu,
mengertilah” ucapku padanya. Ia mengangguk lesu.
*****
Besok adalah ulangtahun Ayah yang ke 49. Sudah
ruwet ku persiapkan hadiah buat beliau. Sudah pusing juga memikirkan bagaimana
mengatakan tujuan ke depanku padanya. Bahwa aku tak ingin bergantung pada apa
yang telah ada. Maksudku, aku tak bisa bekerja di kantor keluarga kami. Aku
ingin memulai hidupku dari nol. Dari jerih payahku sendiri..
“Kau mau kemana, Gitta?” sapa Ayah saat kami
bertemu di teras depan. “Rapih sekali..”
“Ayah juga mau kemana? Kan hari Sabtu, masa
kerja?” tanyaku balik. Ayah terdiam. Air mukanya berubah menjadi gelisah.
Tampak ada masalah berat yang membebani pikirannya. “Ayah ada janji dengan
teman” jawabnya setelah diam beberapa saat.
“Kau tampak sibuk, Yah” jawabku.
“Oh ya? Nanti malam kita akan makan malam
bersama, ok?” tawarnya.
“emmm,…. Bagaimana kalau besok pagi jam 9 di
café faforitmu kita ganti pertemuan
malam ini. Aku harus mengurus suatu hal untuk kepulanganku kembali ke Indonesia
ini Ayah. Aku tak yakin akan sampai di rumah tepat waktu” jelasku panjang
lebar.
“baik, baik, ayah mengerti, Sayang. Tapi
ingat, jangan pulang melebihi jam 9 malam. Oke?” ujar Ayah sambil mengangkat
telapak tangannya pada kata terakhir yang diucapkannya. “Oke” jawabku sambil
menepuk telapak tangan Ayah untuk menerima ajakan toss darinya. “Hati-hati,
Nak” pesannya sambil melangkah pergi.
“Ayah,….” Pangiglku, menghentikan langkahnya.
“Tidak naik mobil?”
Beliau lagi-lagi terdiam. “Ayahmu ini ingin
berolahraga. Lagipula jalan kaki meminimalisir resiko pikun.” Jawabnya berusaha
ceria. “Baiklah,.. hati-hati. Assalamu’alaikum” doaku pada Ayah.
“Wa’alaikumsalam” jawabnya sambil melambaikan
tangannya tinggi-tinggi. Aku pun balas lambaian tangannya. Namun, ada sesuatu
yang mengganjal dalam hatiku. Lambaian tangan ayah terasa menyedihkan buatku.
Semoga ini hanya sebatas firasat, tak lebih untuk nyata.
*****
Ku lirik jam tanganku yang menunjukan pukul
8.30 Setengah jam lagi, aku akan memberikan hadiah ulang tahun buat ayah sekaligus
mengutarakan rencana ke depan yang aku pilih. Langkahku terhenti pada sebuah
toko bunga kecil. Terjejer bunga-bunga indah nan segar di toko itu. Sungguh
menarik hatiku tuk membelinya. Tak sampai 10 menit, buket bunga sedang, telah
berada dalam gendonganku. Sebuket bunga matahari yang cantik. Bunga matahari,
bunga kesukaan Ibu. Semoga ayah menyukainya.
Ku hubungi ponsel Ayah, namun selalu masuk
mailbox. Tak biasanya Ayah hilang kabar seperti ini. Terlintas dalam anganku,
lambaian tangan Ayah kemarin sore. Lambaian tangan untuk mengucapkan selamat
tinggal yang ku harapkan hanya buat perpisahan sementara. Ku pijit kembali
keypad handphone-ku untuk menghubungi telpon rumah. Namun,.. NIHIL. Kabar ayah
tak kunjung jelas.
Tadi pagi aku kesiangan, sehingga sehabis
mandi aku langsung pergi untuk menyelesaikan urusanku yang kemarin belum
selesai. Oleh karena itu, ku pacu mobilku secepat mungkin untuk mengurus status
kependudukanku agar lekas tuntas. Lebih pagi, lebih tidak mengantri dan tak
terjebak macet, bukan?! Jadi,.. aku tidak sempat menyanyakan kabar Ayah tadi
pagi. Padahal, hari ini ulangtahunnya.
09.15
Ayah belum menampakkan batang hidung
mancungnya di café ini. Kemana Ayah sekarang? Tak biasanya beliau seperti ini.
Hatiku makin gelisah. ……ttttiiitttt….ttttiiitttt….
Handphone-ku bordering, tertulis nomor telpon rumah di layar.
“Hallo Assalamu’alaikum……”
*****
Segera aku berlari dari dalam taksi. Menuju
rumah megah yang berhias bendera kuning-hijau. Banyak orang datang bertamu.
Pintu rumah kami terbuka lebar-lebar, selebar luka yang dibuat oleh perih hati.
Aku terus berlari menuju pintu utama. Tak perduli aku tersandung dan hampir
jauh. Aku terus berlari, masuk ke dalam rumah, memastikan bahwa ini semua hanya
rekayasa. Berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk dan aku ingin segera
bangun dari tidurku yang menyebalkan ini.
Begitu sampai di ambang pintu utama rumah,
setubuh terbujur kaku. Tersimpan dalam peti dan terbungkus berlapis-lapis kain
tipis. “Ayaaaah,……..”
******
yg Part 2, kpan di posting.? :)
ReplyDelete