Kekasih Bintang



Jam wekerku kembali berdering. Sial, hari ini aku kesiangan. Untuk yang kesekian kalinya, ku tatap cermin di hadapanku, memastikan aku tampil rapih. Tiba-tiba saja angin bertiup kencang. Gordyn di kamarku menari ria bersamanya. Tak terelakkan file-file penting yang ada di meja kerjaku pun berantakan. Huft, mimpi apa aku semalam. Sungguh pagi yang menyebalkan.
Ku lihat percikan api mengangkasa. Reflek, ku raih kameraku dan ku ambil gambar percikan api yang tengah
mengudara itu. Sepertinya meteor itu telah gagal terkikis oleh lapisan atmosfer bumi.  Ku harap ini akan menjadi berita yang bagus untukku. Sebagai  wartawan, berita up to date merupakn santapan istimewa. Sukses membereskan file-file yang tertiup angina tadi, segera aku meninggalkan apartemen sederhana milikku. Aku tak ingin terlambat pagi ini.
Belum jauh aku melangkah dari gedung apartemen, kembali langkahku terhenti. Kilatan-kilatn cahaya sirine mobil patrol yang berisik, cukup menarik perhatianku. Mobil-mobil itu megerubung, berpusat pada patahan aspal yang hangus. Sepertinya meteor  tadi  jatuh di sekitar situ. Segera ku ambil gambar dari apa yang aku lihat. “Bos pasti puas dengan berita yang ku bawa. Pagi ini tidaklah terlalu sial buatku”, gumamku dalam hati. Puas mengambil gambar dari kejadian heboh itu, ku lanjutkan langkahku ke kantor.
Sembari berjalan, ku amati satu per satu gambar yang telah ku ambil tadi. Mungkin karena terlalu senang, aku telah bersikap berlebihan seperti ini. Tapi, . . . . . tunggu dulu. Apa ini? Ada sesuatu di antara pecahan aspal yang hangus itu. Terlihat seperti bulu? Apa maksudnya? Bulu apa itu? Bukan seperti bulu burung biasa. Sungguh.
*****
Matahari makin condong ke barat. Lalu lalang jiwa-jiwa yang lelah makin padat. Aku melangkah lesu di sekitar jalan protocol ini. Dengan menganggap bahwa hari ini adalah hari yang baik untukku, merupakan kesalahan besar. Sangat besar malah!!! Bukan pujian yang ku dapat. Namun, beruntut cacian dan omelan yang ngalor ngidul yang ku dapat. Dasar cerewet!!!! Hhhhrrrrr. Syukurlah besok hari Sabtu. Aku bisa sejenak membebaskan diriku dari segala kekangan ini. Setidaknya masih ada alas an agar aku tetap betah hidp di dunia ini.
Langkahku terhenti. Samar-samar ku dengar suara tangis di sekitar aku berdiri. Seorag wanita sepertinya. Ku tajamkan telingaku. Lekat-lekat ku cermati suara itu. Dan benar saja, itu suara wanita. Ingin aku mengabaikannya, tapi……….. aku seakan tak bisa. Rasa penasaran telah mendorongku untuk menuju ke sumber suara.
TAP,…. TAP,….
Ku ambil langkah tapak demi tapak dengan amat berhati-hati. Suara itu terdengar makin jelas. Dan,…..
OH TUHAN,…….!!!!!!!!!
Apa aku tak salah melihat? Seorang wanita bergaun putih panjang, dengan rambut hitam terurai, tengah terduduk lesu di hadapanku. Sayapnya mengepak ragu. Siapa dia??
Tak ingin membuatnya takut. Aku melangkah pelan ke arahnya.
KREEEEK,…!!!!
Tak sengaja aku menginjak potongan kayu dan menimbulkan suara di antara keheningan. Ia menoleh. Bak amat terkejut, ia hanya menatapku lekat-lekat. Sepertinya ia takut akan hadirku. Aku  bingung, tak tahu harus bagaimana. Simple saja, ku lemparkan sebuah senyuman padanya dan…
JJJLLLEEEPPP,…!!!!
Sayapnya yang tampak rapuh, lenyap. Sebenarnya aku terkejut. Ku tak pernah bertemu makhluk seperti ini sebelumnya. Yang ku tahu, semua hanya ada dalam dongeng belaka. Namun aku berusaha bersikap tenang, mencoba menjaga rasa takutnya.
“Jangan takut. Di sini aku akan menolongmu”, ku berusaha mmecah kebungkaman di antara kami.
“Hari sudah mulai gelap. Ikutlah denganku. Lukamu parah”.
Tanpa menunggu jawaban darinya, ku raih tubuhnya. Ku gendong iya menuju apartemenku untuk menginap malam ini
****
Pemuda itu terlihat baik. Sepertinya ia juga sopan. Entah mengapa aku langsung mengaguminya. Usai ia mengobati luka pada punggungku, ia membiarkanku untuk tidur di ranjangnya. Sementara ia, tidur di sofa ruang tamu. Aku benar-benar mengaguminya. Meski demikian, aku takut untuk membuat komunikasi padanya. Aku merasa ada yang berbeda padanya. Entah apa, aku tak tahu. Yang ku tahu, aku nyaman ada di dekatnya. Dan satu hal lagi,…. Ku rasa ia telah berhasil merubah sedikit arah pemikiranku akan manusia di bumi.
*****
Mentari kian meninggi. Dalam heningnya pagi, ku dengar suara senandung samar-samar. Mungkin gadis itu. Apa ia sudah bangun? Bagaimana dengan lukanya? Aku harap dia akan baik-baik saja. Aku tak ingin suatu buruk terjadi padanya. Aku tak rela.
Aku berusaha untuk segera terjaga. Ku paksa kedua mataku yang masih lengket agar lekas terbuka sempurna. Dalam bayangan yang samar-samar, gadis itu terlihat menari riang. Ia mainkan lampu-lampu di apartemenku. Ia sentuh lampu apartemenku, dan. . . .  C L I N G ! ! ! lampu itu menyala. Kembali ia memutar tubuhnya, bersenandung, melomat kecil, dan berputar kembali.
“Wah, rupanya ada penari baru di apartemenku”, ucapku saat tekah benar-benar terjaga. Susah untuk mengelak lekas tersadar, sat kau berada di sekitar sosok yang luar biasa bagimu.
Ia terhenti. Ia tersenyum malu. Pipinya yang cabhi, merah merona.
“Mengapa kau berhenti, hah? Lanjutkanlah!!! Rupanya kau tdak suka dipuji ya….”, godaku padanya.
Sepersekian detik kedua mata kami bertemu, saling beradu pandang.  Senyumnya mengembang, memecah sunyi di antara kami. Kembali ia melangkah sambil menari kecil dan memutar badannya. Kini ia menuju ke ruang tengah apartemenku, ruang istimewa untukku. Dimana atapnya merupakan bahan transparan, yang keika malam tiba aku dapat melihat kemilau gemintang. Ia menyentuh sisi lampu ruang transparan itu, dan. . . CLING!! Lagi-;agi lampu itu menyala. Kemudin ia rentangkan kedua tangannya, menghadap ke arah mentari yang timbul sebagian karena tertutup gedung-gedung pencakar langit. Seketika,. . . apartemenku benderang. Bak diserbu ribuan cahaya mentari yang menembus ata-aap kaca apartemenku. Ia berbalik menghadap ke arahku. Dengan senyumnya seakan dia menunjukan kebanggaan akan apa yang telah ia lakukan. Pun sebuah senyum tergambar dari bibirku.
****
Tampan, penyabar, penyayang, apa lagi yang kurang darinya? Pemuda yang benar-benar telah mencuri perhatian dariku. Perlahan rasa perhatian yang tlah terambil olehnya menjalar meggerogoti ruang kosong dalam hati. Senyumnya sering terukir di wajahnya. Tak jarang, lesung pipitnya hadir sebagai pelengakap akan pesona ketampanannya. Dunia kami memang berbeda. Namun salahkah jika aku merasakan getaran cinta yang makin menimbul? Dosakah bila kupelihara kukuh perasaan yang menggalaukan kalbuku ini?
Gemintang berkedip ramah dalam lekatnya dekapan gelap malam. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Anehnya, aku tidak terlalu risih akan segala kondisi ini. Entah mengapa, meski merasa hilang aku tetaplah tenang. Kilauan bintang di angkasa seakan isyaratkan bahwa di sini bukanlah tempatku. Bumi ini bukanlah tempatku. Benar-benar bukan. Masih pantaskah aku berada di sini?
Tiba-tiba kehangatan mendekap pergelangan tanganku. Memeah segala kegamangan alam pikirku. Ternyata itu dia. Sosok yang membuatku lupa akan kenyataan dunia kami yang berbeda. Seakan ia tahu bahwa aku tengah meragu akan pilihan hati, ia hadir seolah memberi secercah keyakinan untukku. Ia tersenyum. Lagi-lagi dengan lesung pipitya yang khas dan tak asing lagi buatku. Ia menari-nari kecil mengelilingi aku yang masih erheran-heran dibuatnya. Persis seperti apa yang mungkin biasa ku lakukan. Dengan sayap palsu di belakang punggungnya, ia melambaikan tangannya seolah ia tengah terbang. Aku terkikik geli dengan tingkahnya yang tak karuan itu. Ia berheni tepat di hadapanku kini. Kedua matanya lekat menatapku. Tek terhindarkan, kedua mataku turut berbaur dalam pandangannya. Digenggamnya tanganku, seakan ia benar-benar tak ingin aku pergi. Ya, kurasa ia benar-benar takut jika kehilangan aku.
*******
Setelah menghabiskan waktu hampir setengah jam untuk memilih barang-barang keperluan dengan harga murah mutu bagus, ku langkahkan kaki menuju pada antrian panjang depan kasir. Ku lirik lagi keranjang belanjaanku. Memastikan bahwa semua yang kubutuhkan tak terlewatkan, Tampak keranjang belanjaanku lebih penuh dari hari biasa. Bagaimana tidak? Kini ada dua manusia yang membuuhkan pangan di apartemenku. Waktu seakan berlari begitu lama. Diburu rasa tak sabar ingin kembali bertemu dengannya. Seorang gadis yang hingga kini tak ku ketahui namanya. Hanya senyuman yang selalu ia lemparkan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Apa mungkin ia tak mengerti bahasaku? Apa karena asal kami berbeda, bahasa komunikasi yang adapun berbeda? Atau mungkin, ia berbahasa asing seperti inggris dan sebgainya? Ah,…. Apa yang ku pikirkan!! Tak penting. Senyum darinya lebih dari cukup untukku.
Dengan sedikit terburu ku langkahkan kaki menuju apartemenku. Aku makin rindu akan senyumnya itu. Entah mengapa aku enggan kehilangannya. Meski aku tahu, ia merindukan untuk kembali pada dunianya. Semalam, kulihat sosoknya erpaku memandang gemintang dalam pekatnya langit kelam. Terlihat jelas akan rasa kehilangan mendalam di relung hatinya. Namun aku yakin,…. Setiap pertemuan pasti akan mengalami titik perpisahan. Entah aku siap untuk hal itu atau tidak, aku tak tahu.
*******
Di sisi lain kota. Dua orang berpakaian putih-putih tengah menyusuri sebuah jalan sempit demi menemukan suatu hal. Hampir seluruh jalanan kota tlah ditelusuri untuk menemukan hal yang diincarnya. Hingga pencarian mereka mendapatkan sebuah titik terang. Dalam geng sempit yang tersembunyi di antara gedung-gedung pencakar langit yang rapih berjajar. Ditemukannya, beberapa rontokkan bulu putih halus yang taka sing bagi mereka. Erdapat pula bekas cucuran darah yang mengering di sekitar sana. Sebuah senyum puas tersungging di sudut bibir mereka. Tiada keraguan akan apa yang baru saja mereka temukan merupakan petunjuk yang telah membuka semua kartu misteri.
*****
Waktu terasa melambat. Bosan kian merajam aku. Berulang kali ku lirik jam dinding yang detakan jarumnya kian menggema. Bak seterika sudah aku, bolak-balik aku mengelilingi ruang sempit apartemen ini. Rasa sepi benar-benar telah merasukiku, dan benar-benar telah menaikkan titik didih kejenuhanku. Berkali-kali pun aku menatap ke arah pintu kayu bewarna abu-abu di ruangan utama, berharap adanya sebuah ketukan yang menyapa sepiku. Berharap sosok laki-laki baik hati itu muncul dalam bayangan kedua mataku.
‘tok tok tok’
Pucuk dicita ulampun tiba. Suara ketukan yang kunantikan hadir jua. Dengan girang ku berlari kecil kea rah pintu utama, berlekas membuka pintu dan menemui sosok ang ada di baliknya.
“hah?..... apa? Kkkaauu…????”
“diam kau!!! Di sini rupanya kau bersembunyi selama ini. Kembalilah ke tempatmu, Per Cengeng!!! Jangan coba membangkang!!!!”
******
“Sial,kenapa harus macet seperti  ini?” gumamku kesal. Hampir sejam lebih aku duduk di jok mobilku ini. Bokongku terasa panas sudah. Tak betah ragaku menahan lelah ini. Batinku pun ikut menjerit dan meronta akan tekanan yang diterimanya. Terbayang ketenangan yang akan ku rasakan saat tiba di apartemenku. Senyumnya, tatapan mata beningnya, keluguannya, dan semua yang ada pada diri gadis itu semakin membuatku gila, makin tak waras, dan makin menaikkan titik uap amarahku. Huh, aku makin tak sabar ingin lekas bertemu dengannya.
Tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Nyeri menyerang hebat kepalaku. Ada apa ini? Perasaan menjadi serba tak enak. Aku merasa akan adanya suatu hal buruk yang terjadi pada gadis polo situ. Entah apa, tapi aku merasa kekhawatiranku semakin memberatkan hatiku. Ku coba untuk menghapus semuanya. Melupakannya segera. Ingin ku buang jauh-jauh semua pemikiran buruk itu. Aku berusaha meyakinkan diriku bahw semuanya baik-baik saja. Tapi,…… semua nihil. Pikiranku tak bisa lepas dari firasat buruk akan keadaan gadis itu. Oh, Tuhan…. Apa yang harus ku lakukan.
Beberapa lama kemudian, mobilku tiba di pelataran apartemen yang tampak megah dengan lampu hias di tiap sudut gedung tinggi itu. Aku berusaha melangkah tenang, walau jujur saja aku masih terjebak dalam rasa khawatir yang kian menggerogoti rasa sabarku. Segera ku menuju lift terdekat. Sial, lift penuh. Tak ingin makin memakan waktu, ku putuskan untuk naik ke karma melalui tangga darurat. Melelahkan memang, tapi rasa cemasku kian menjadi. Lagipula, cukup lama aku meninggalkannya.
Tampak depan, kamarku baik-baik saja. Tak terbesit suatu hal buruk yang patut dicurigai. Ku genggam daun pintu utama apartemenku. Ku tarik napas dalam-dalam, berdoa agar semua benar-benar baik. Baik-baik saja.
‘ceklek’
Ku buka pintu abu-abu di hadapanku. Astaga!!!
“Siapa kau? Lepaskan gadis itu!!” pekikku penuh amarah pada dua laki-laki aneh di hadapanku. Tangannya mengekang erat tubuh gadis itu.
“Diam kau!! Ini semua bukan urusanmu!!”
“Lepaskan dia!! Kalau tidak, maka aku akan--”
“Tak usah sok jadi pahlawan anak muda!! Kau bukan apa-apa, bukan tandingan kami. Ssekarang, ku beri kesempatan untuk mengatakan pesan terakhir bagi wanita ini”.
“Apa maksudmu, hah?! Aku bilang lepaskan dia!!!” uapku kesal atasrespon laki-laki aneh yang jelek itu. Aku melangkah maju dengan sebuah kepalan amarah yang ku bawa. Ingin sekali aku menonjok muka jeleknya itu. “Hhhh,…. Awas kau!!!!!!”
“Aaaarrrrggghhhh….. apa yang terjadi?”
Seluruh tubuhku keram seketika. Tak bisa bergerak. Tangan kedua laki-laki itu mengarah ke arahku, seperti mengalirkan seuatu dalam tubuhku. Mereka mengendalikan tubuhku. Aku bak anak kucing yang hampir mati. Aku tak dapat bebuat banyak. Semakin keras aku mencoba untuk menggerakkan tubuhku, makin terasa bahwa tulang-tulangku mulai retak. Aku hanya dapat menatap mata yang berkaca-kaca di seberang. Gadis itu mulai teisak. Ku rasa ia juga kesakitan, meski ia pun sebenarnya bukan seorang manusia. Aku pun tak tahu, apa kekuatannya sebagai seorang peri masih ada. Kalaupun ada, megapa ia tak melawan? Tuhan, lindungi dia. Sungguh ku tak ingin dia terluka.
Ia menatapku tajam. Seakan kedua matanya berbicara bahwa ia akan segera kembali. Entah bagaimana, seringkali aku merasa bahwa aku bisa berbicara dengannya dalam tatapan matanya. Dengan tatapan, -aku-tak-ingin-kamu-pergi-tetaplah-disini-percayalah-padaku-semua-baik-baik-saja. Ku lihat senyum mengembang di wajahnya. Senyumnya terasa berbeda. Terasa pilu untuk melihatnya.
‘JLEPP…… CCLLLIINGGGG!!!!’
Tampak kedua sayapnya yang sempat lama tak terlihat kembali mengepak indah. Kepakkkannya keras hinggga membuat segala sesuatu di sekitarnya terlempar, berhamburan. Ribuan cahaya meerpa kedua mataku. Membuat semua hambar terlihat. Semua terjadi seperti saat kali pertama aku berjumpa dengan gadis itu. Di sebuah gang sempit, di malam ang dingin. Semua terasa terlalu begitu cepat. Hanya sejam saja rasanya, aku mengenal dirinya. 3 hari bukan waktu yang lama bagi kami untuk menjalin ikatan ini. 3 hari bukan pula waktu singkat yang sia-sia. 3 hari merupakan masa terindh dalam tiap tarikan napasku. Dalam setiap detakan jantung, dalam tiap denyutan nadi, dalam tiap langkah yang tertapak, merupakan HAL TERINDAH dalam hidupku.
Terima kasih untukmu. Terimakasih atas segala yag telah kau hadirkan dalam hidupmu.



Jombang, 18 November 2011

Comments

Popular posts from this blog

Naskah Drama 7 orang >> "Aduh Ujang"

Demi Trisno (Naskah Drama)

Puisi, Pantun. Gurindam Lingkungan -8baris